Melindungi Sisa Yang Berharga: Pendekatan Nilai Konservasi Tinggi

Melindungi Sisa Yang Berharga: Pendekatan Nilai Konservasi Tinggi

Indonesia - 13 August, 2020

Kebijakan pemerintah terkait pengelolaan hutan konservasi di luar kawasan konservasi saat ini menjadi topik hangat, mengingat sudah banyak inisiatif yang diusung oleh pemegang konsesi atau Hak Guna Usaha dan bahkan oleh pemilik lahan secara individual yang tertarik untuk melakukan konservasi. UU 23 tahun 2014 pada Bab 16 Bagian ke Satu Pasal 360 tentang Kawasan Khusus, Ayat 1 menyebutkan, untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat strategis bagi kepentingan nasional, Pemerintah Pusat dapat menetapkan kawasan khusus dalam wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota. Selanjutnya, pada ayat 5 disebutkan, daerah dapat mengusulkan pembentukan kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pemerintah Pusat. Artinya, pemerintah daerah memiliki wewenang untuk mengelola kawasan konservasi yang dapat berupa kawasan ekosistem penting maupun daerah penyangga yang ada di luar kawasan suaka alam dan kawasan perlindungan alam.

Dalam konteks lanskap hutan dengan cakupan yang lebih luas, sebaiknya pemerintah pusat mengajak pemerintah daerah untuk mengkaji peluang menyelamatkan hutan dan isinya. Namun demikian, perlu dipikirkan rancangan jangka panjang atas fungsi dan manfaat yang akan diberikan kepada masyarakat lokal di desa-desa yang diusulkan. Bagaimana menentukan apa yang tersisa, berapa luasnya, apa nilai dan bagaimana penyebarannya.

Jika menilik kata “sisa”, saya menganalogikan dengan 3 makna:

  • Menyisihkan yang baik (misalnya hutan alam primer) menjadi hutan lindung yang dilindungi secara penuh agar nilai dan fungsinya tidak rusak – representasi dari tipe dan luasan yang ada
  • Menyisihkan yang buruk (mengambil hutan dengan isi yang baik) – cenderung eksploitatif
  • Mengambil semuanya dan menyisakan serpihan yang sudah tidak bernilai dan tidak berfungsi

Tentunya ketiga kondisi tersebut akan memiliki konsekuensi yang berbeda. Hutan harus bisa dinilai dari sudut pandang fungsi dan peruntukan. Ekosistem hutan memiliki berbagai ragam fungsi dan peruntukan. Sekitar 60 juta penduduk Indonesia hidup dan bergantung dari sumberdaya yang berada di dalam hutan (KLHK 2017). Tidak hanya menyediakan air, tumbuhan/kayu, protein hewani, bahan baku obat, penyedia karbon dan penjerap CO2 namun juga menyediakan berjuta-juta hektar lahan untuk pertanian. Hutan juga berfungsi untuk menjaga keseimbangan ekosistem untuk mencegah banjir dan longsor, menjadi rumah bagi masyarakat lokal baik yang hidup di dalam maupun di sekitar hutan, dan menjadi sumber penghidupan masyarakat hutan. Dengan demikian hutan memberikan manfaat sosial, ekonomi dan ekologi tidak hanya di tingkat lokal, nasional, namun juga global. Pemanfaatan hutan secara lestari pastinya harus mendukung ketiga pilar tersebut.

Saat ini dunia selalu membicarakan hutan yang tersisa, hutan tropis yang dengan cepat akan menghilang sehingga banyak inisiatif internasional yang ingin menyelamatkan hutan hujan tropis. Namun hal ini tidak akan mudah. Ada pertanyaan besar, mengapa hanya hutan hujan tropis yang dianggap perlu diselamatkan, dan mengapa sulit dilakukan? Berdasarkan kajian ilmiah, tingkat pemulihan hutan yang terdegradasi di hutan tropis sangat cepat (jika tidak ada gangguan).

Saat ini hanya 6% dari sisa hutan di dunia yang dilindungi sementara lebih dari 90% masih terbuka untuk dimanfaatkan. Sedangkan yang 6% tidak akan aman jika penerapan pembangunan berkelanjutan tidak dilakukan. Pertanyaannya adalah – luasan yang diproteksi ini seperti apa bentuknya, dan mengapa hanya ditujukan untuk hutan di negara negara tropis. Bagaimana dengan yang di temperate dan boreal? Padahal simpanan karbon di hutan boreal dan temperate juga sangat significant.

Isu lain yang sedang hangat adalah akan terjadinya ledakan jumlah populasi dunia, sehingga ada pertanyaan, mampukah bumi mendukung jumlah manusia yang makin bertambah? Seharusnya ini sudah bisa diprediksi menggunakan pendekatan Daya Dukung dan Daya Tampung (Carrying Capacity)

Baru baru ini juga ada gerakan atau ajakan dari High Coalition Ambition for Nature yang dipimpin oleh Perancis dan Costa Rica – untuk menetapkan target perlindungan 30% permukaan bumi (terrestrial dan marine) untuk post-2020 global biodiversity framework. Dengan Aichi Target 2020 sebesar 17%, target 30% tersebut meningkat cukup besar. Mungkin ini lebih merupakan dorongan politis dibanding ekologis.

Kondisi hutan di Indonesia saat ini:

  • Melalui UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Indonesia sudah membagi habis kawasan hutan seluas 120,3 juta ha kawasan hutan negara berdasarkan fungsinya: Kawasan Hutan Produksi, Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan Hutan Konversi bagi peruntukan lain.
  • Diantara luasan ini ada sekitar 30 juta ha dikelola dibawah wewenang pemerintah daerah. TGHI=>kawasan konservasi seluas 27 juta ha, 29 juta ha hutan lindung dan 0,7 juta ha Kawasan Ekosistem Esensial (KEE). Jumlah ini mencapai lebih dari 51 juta ha kawasan lindung, atau lebih dari 28% daratan negara.
  • Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (Dit. IPSDH)-Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB)-(Peta Indikatif Moratorium) => 66 juta ha (ada kenaikan 200.000 ha dari 2019-2020) - stabil untuk tutupan hutan primer dan gambut (lebih dari 30%)

Saat ini pemerintah sudah merencanakan inisiatif membuat Kawasan Ekosistem Esensial yang merupakan ekosistem di luar Kawasan Suaka Alam (KSA) dan/atau Kawasan Pelestarian Alam (KPA) yang mempunyai nilai penting yang secara ekologis menunjang kelangsungan kehidupan melalui upaya konservasi keanekaragaman hayati untuk kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia yang ditetapkan sebagai kawasan yang dilindungi. KEE memiliki 5 tipologi yakni: 1) ekosistem lahan basah, 2) koridor hidupan liar, 3) areal bernilai konservasi tinggi, 4) Taman Keanekaragaman Hayati, dan 5) Areal Konservasi Kelola Masyarakat.

ABKT pada awalnya dicetuskan dalam sertifikasi sukarela (voluntary) pengelolaan hutan lestari oleh Forest Stewardship Council (FSC), berada pada Prinsip No.9 dari 10 prinsip kelestarian pengelolaan hutan. Saat ini berkembang menjadi pendekatan yang cukup ampuh untuk di terapkan pada areal di luar kawasan konservasi yang memiliki nilai konservasi nyata dan perlu untuk dijaga keutuhannya. Pemerintah menuangkannya dalam Peraturan Direktorat Jenderal KSDAE P5/KSDAE/SET/KUM.1/9/2017 tentang Petunjuk Teknis Penentuan ABKT di luar Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam dan Taman Buru.

Apa saja parameter utama yang akan diukur dalam melakukan identifikasi? Berikut antara lain yang akan diukur: 1) kelangsungan dan viabilitas jenis dan tumbuhan langka, jarang dan terancam punah (Rare Threatened and Endangered), 2) SIR (Scale, Internsity dan Risk), 3) status konservasi dan persyaratan ekologis jenis langka dan terancam, 4) ekosistem unik, langka dan terancam, dan 5) pertimbangan wilayah geografis dan persyaratan ekologis jenis RTE di luar batas Unit Pengelola.

Pendekatan HCV/ABKT dirancang untuk mengidentifikasi sebuah kawasan yang memiliki nilai konservasi tinggi dan memenuhi ke-6 kategori mencakup nilai biologis, ekologis, sosial dan budaya yang memiliki signifikansi luar biasa atau peranan yang sangat penting dalam sebuah ekosistem atau bentang alam. Memberikan informasi berbasis kajian ilmiah kepada para pembuat kebijakan, pelaku usaha, dan organisasi masyarakat sipil ketika mereka mengoptimalkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di masing masing daerah/wilayah.

Dalam situasi dan kondisi saat ini ketika fragmentasi bentang alam hutan tidak terhindarkan demi percepatan pembangunan dengan dalih untuk kemakmuran masyarakat, ada pertanyaan yang seharusnya bisa ditanyakan di awal. Apa yang bisa dilakukan untuk menjaga hutan yang masih ada saat ini agar mampu menjamin kelangsungan hidup manusia maupun satwa/tumbuhan liar?

Sebagian besar implementasi penilaian ABKT masih dilakukan di tingkat tapak atau unit pengelola. Dalam perkembangannya saat ini, identifikasi lebih mudah dilakukan di tingkat lanskap (bentang alam), tentunya dengan berbagai pertimbangan antara lain: 1) pengelolaan untuk mempertahankan NKT tidak bisa dilakukan secara parsial, 2) pengelolaa secara parsial tidak akan mampu menjamin konektivitas antar tapak dengan NKT tinggi , 3) data dan informasi di tingkat lanskap bisa menjadi acuan indikatif di tingkat Unit Pengelola/tapak dan memudahkan kajian, 4) sebagian besar satwa memiliki wilayah jelajah di luar kawasan konsesi (UO) dan distribusi ini tidak mengenal batas.

Identifikasi dan pedoman ABKT akan membantu dalam menemukan informasi areal yang perlu dijaga untuk dipertahankan. Jika pemerintah daerah berkomitmen untuk memprioritaskan kawasan konservasi, sebaiknya dipilih kawasan hutan primer dalam luasan cukup besar, kawasan hutan dengan luasan kecil namun mampu membentuk mozaik yang saling terhubung (konektivitas tinggi), daerah penyangga di sekiar mozaik sisa hutan yang masih akan dikelola untuk memperbesar ruang pengelolaan dan konektivitas, ekosistem unik-langka- terdegradasi di areal wet land yang direstorasi dan yang terakhir adalah manfaat bagi kehati dan jasa lingkungan, sosial dan budaya.

Kesimpulannya, konservasi hutan dan keanekaragaman hayati harus mempertimbangkan kondisi sisa hutan yang ada saat ini – di semua region/wilayah, termasuk luasan yang tersisa, bagaimana bentuknya, apa isinya, bagaimana nilainya (bagi siapapun penerima manfaat) dan bagaimana distribusi spasial untuk memastikan komunikasi lintas daerah dan komunikasi ini berjalan di bawahnya. Dengan demikian, pemerintah daerah akan terbantu untuk menyusun pola tata ruang mereka.

Catatan dari webinar “Konservasi di Luar Kawasan Konservasi”
Oleh: Dr. Ir. Titiek Setyawati, MSc,
Peneliti, Puslitbang Hutan, Badan Litbang dan Inovasi
Tenaga Ahli Bidang Konservasi dan Pembangunan Ramah Lingkungan