Mengarusutamakan Pembayaran Jasa Lingkungan

Mengarusutamakan Pembayaran Jasa Lingkungan

Indonesia - 17 July, 2020

Implementasi Imbal Jasa Lingkungan (IJL) atau Payment for environmental Services telah diprakarsai oleh LSM (CSO) sejak tahun 1990-an, namun implementasi di masa lalu tidak begitu memuaskan hasilnya. Hambatan yang sering terjadi adalah prosesnya yang panjang dan penuh ketidak-pastian sehingga membuat biaya transaksi yang tinggi, yang tidak sepadan dengan insentif yang diterima oleh masyarakat secara langsung.

Hal ini disebabkan oleh terbatasnya kapasitas LSM dalam melakukan Lobby dan Advokasi (L&A), serta kurangnya dukungan Pemerintah. Di lain pihak, sektor swasta umumnya masih memiliki minat yang rendah untuk memberikan insentif perlindungan Jasa Lingkungan (baca: ABKT) baik di dalam dan di sekitar wilayah konsesi/HGU mereka. Pembayaran IJL akhirnya tidak menarik bagi pemerintah desa dan masyarakat setempat karena kurangnya kejelasan.

Terlepas dari kegagalan IJL di masa lalu, mekanisme ini tetap penting dan relevan dalam mendorong perekonomian masyarakat pada wilayah ABKT. Kawasan industri atau komunitas pengguna air di DAS hilir harus memberikan insentif kepada masyarakat di DAS hulu yang melindungi hutannya. Masyarakat yang menjaga ekosistem hutan rawa gambut yang menyimpan jutaan ton karbon dan berfung sisebagai sekat bakar, telah menyelamatkan masyarakat dari kabut asap, penyakit ISPA dan jutaan ton emisi karbon, peran mereka perlu diapresiasi dalam bentuk IJL.

Pemerintah harus mengambil kebijakan untuk menciptakan kondisi pemungkin bagi implementasi IJL. Pada bulan November 2017, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) No. 46/2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup. PP ini merupakan mandat Pasal 42 ayat (2) huruf c UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan yang ditujukan sebagai kerangka kerja pengaturan hukum bagi kementerian/lembaga terkait. PP ini mengadopsi skema IJL sebagai salah satu dari 17 instrumen ekonomi.

PP No. 46/2017 ini merupakan tonggak penting baru dalam pengarusutamaan IJL. Pertama, pemeran utama yang ditunjuk untuk memulai, memfasilitasi dan mengimplementasikan PES adalah pemerintah. Kedua, PP ini mendorong investasi, khususnya industri berbasis lahan untuk mengalokasikan sumberdayanya melindungi Jasa Lingkungan. Ketiga, skema IJL dapat dikembangkan antara pemerintah pusat dan daerah (provinsi/kabupaten), antar pemerintah daerah dan antara individu/organisasi serta antara pemerintah daerah dan individu. Ini menarik untuk pelibatan aktor IJL seluas-luasnya, termasuk Pemda dan Pemdes serta masyarakat di tataran akar rumput.

Direktorat Pencegahan Dampak Lingkungan Kebijakan Wilayah dan Sektor, Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), saat ini sedang menyusun draft Peraturan Menteri sebagai pedoman teknis PP 46/2017 tentang implementasi IJL di daerah.

Pemerintah perlu mendorong sektor swasta untuk memberdayakan masyarakat tempatan di sekitar konsesi mereka sebagai penyedia Jasa Lingkungan dan melibatkan masyarakat untuk mengelola Jasa Lingkungan di konsesinya, kemudian sektor swasta didorong sebagai pembeli Jasa Lingkungan masyarakat. Seperti yang diterapkan oleh Gubernur Kalimantan Barat yang mengeluarkan Perda Provinsi Kalimantan Barat No. 6 Tahun 2018 tentang Pengelolaan usaha berbasis lahan berkelanjutan, di mana konsesi berbasis lahan harus mengalokasikan setidaknya 7% dari konsesi mereka sebagai kawasan lindung untuk melestarikan jasa lingkungan.

Secara historis, konservasi ekosistem alam telah dibiayai melalui anggaran pemerintah, filantropi, donasi, dan bantuan bilateral. Memperhatikan sektor swasta telah banyak terlibat dalam proses pengalih-fungsian Jasa Lingkungan di wilayah perdesaan, maka mereka harus bertanggung jawab melindungi Jasa Lingkungan yang tersisa, baik untuk keberlanjutan usaha mereka maupun mendorong mata pencaharian masyarakat. Sejauh ini, biaya lingkungan, sosial, dan ekonomi dari kehilangan Jasa Lingkungan sebagian besar diperlakukan sebagai biaya eksternal dan tidak terkait dengan produksi komoditas. Hal ini perlu diluruskan, sektor swasta harus bertanggung jawab melindungi dan memelihara Jasa Lingkungan di dalam dan sekitar konsesi, misalnya, melalui restorasi dan konservasi dari biaya operasinya dan bukan dari dana CSR mereka.

Pemerintah mungkin perlu menstandarisasikan besaran INSENTIF Jasa Lingkungan, setidaknya mengatur komponen-komponen biaya yang harus tercakup di dalamnya. Mengacu pada PP 46/2017, pembayaran IJL mencakup biaya perlindungan ekosistem, pemberdayaan masyarakat dan upaya kolaboratif. Dalam biaya perlindungan ekosistem, penilaian besarannya harus mencakup Opportunity Cost, yaitu peluang pendapatan jika Jasa Lingkungan yang dilindungi masyarakat dikonversi ke penggunaan lain (misalnya kebun sawit) dan mempertimbangkan biaya pengelolaan perlindungannya, seperti pelaksanaan smart patrol dsb.

INSENTIF yang terlalu rendah (tidak realistis) sebagaimana yang banyak terjadi dalam skema IJL selama ini, membuat masyarakat tidak berkomitmen melindungi Jasa Lingkungannya. Pemprov kedepan perlu lebih agresif untuk melakukan L&A untuk memulai dan memfasilitasi transaksi IJL baik daripenyedia maupun pembeli Jasa Lingungan. LSM juga harus aktif memberikan informasi terpercaya tentang distribusi dan sebaran Jasa Lingkungan, serta berkolaborasi dengan pemerintah dan pemangku kepentingan Jasa Lingkungan lainnya untuk mengarusutamakan PES. Pemerintah desa dan masyarakat harus terlibat secara intensif sejak awal proses perlindungan dan pembangunan sekama IJL, untuk membangun mata pencaharian berkelanjutan masyarakat yang diintegrasikan ke dalam perlindungan ABKT.

Penulis: Edi Purwanto adalah Direktur Tropenbos Indonesia dan Nur Hasanah adalah PhD dari Departemen Ilmu Sistem Lingkungan, ETH Zurich, Switzerland