Serial Webinar “Mengelola Yang Tersisa” Seri #17. Menjaga Satwa Nusantara* (*Jawa dan Sumatera)

Serial Webinar “Mengelola Yang Tersisa” Seri #17. Menjaga Satwa Nusantara* (*Jawa dan Sumatera)

Indonesia - 16 May, 2021

Mengelola hutan yang tersisa adalah juga mengelola keanekaragaman hayati, termasuk satwa liar yang ada di dalamnya, terlebih jenis-jenis satwa liar yang kini semakin langka atau bahkan terancam punah, seperti gajah, harimau, dan badak. Menurut Wiratno, Direktur Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), berbagai jenis mamalia yang dilindungi ternyata juga ditemukan di luar kawasan konservasi, seperti di hutan produksi, di kebun sawit, di kebun karet, di hutan tanaman industri (HTI), dan sebagainya. “Kita mendapat tantangan beyond the boundaries of protected areas,” tuturnya dalam webinar series Tropenbos Indonesia “Mengelola Yang Tersisa” ke-17 bertajuk “Menjaga Satwa Nusantara” yang berlangsung Sabtu, 31 April 2021.

Sejauh ini, menurut Wiratno, upaya perlindungan sudah banyak dilakukan oleh pemerintah mulai dari patroli dan pengamanan, mitigasi konflik, monitoring dan peningkatan populasi satwa, penyelamatan satwa dengan memindahkan ke habitat asalnya, pelepasan satwa yang telah direhabilitasi ke habitat alamnya, atau repatriasi satwa yang berasal dari luar negeri kembali ke tempat asalnya. “Sekarang bahkan pemerintah tengah memikirkan untuk dapat mengontrol satwa-satwa liar khususnya yang menjadi kebanggaan nasional seperti yang telah dilakukan Pemerintah Cina dengan Panda,” katanya.

Upaya pemerintah dalam perlindungan satwa liar ini termasuk meminta pihak swasta untuk memastikan agar di area konsesinya tidak ada jerat, karena dampaknya terhadap satwa yang terjerat bisa sangat mengenaskan. “Kita juga mendapat dukungan dari Garuda untuk pengangkutan satwa liar secara gratis ketika melakukan repatriasi ke tempat-tempat yang dilalui jalur penerbangan Garuda,” kata Wiratno. Selain itu, Wiratno menuturkan, direktorat yang dipimpinnya juga tak henti memberikan surat edaran ke berbagai pihak termasuk kepada jasa pengiriman seperti JNE, TIKI dan sebagainya, agar bila ada kiriman yang mencurigakan dapat melaporkannya kepada pihak yang berwenang. KSDAE juga memiliki call center untuk menerima laporan dari masyarakat.

Meski saat ini tren perdagangan illegal satwa liar menurun, Wiratno mengingatkan bahwa kasusnya tetap ada sehingga upaya menghentikannya tetap harus terus dilakukan. “Upaya yang dilakukan harus masif dan terus menerus,” katanya. Upaya masif inipun melibatkan berbagai Inisiatif dan inovasi teknologi, dan telah menunjukkan sejumlah keberhasilan seperti kondisi Badak di Ujung Kulon yang mendapat perlindungan penuh dengan populasi saat ini 74 dan 4 ekor lahir pada 2019-2020, dan peningkatan populasi Jalak Bali melalui breeding alami dan semi alami di Taman Nasional Bali Barat. Gerakan dan dukungan masyarakat dalam melindungi satwa liar ini juga terlihat melalui fenomena citizen science dengan terbitnya Atlas Burung Indonesia, yang melibatkan bantuan tak kurang dari 1.000 kontributor.

Salah satu lembaga yang terlibat dalam upaya mendukung penyelamatan spesies terancam punah di Indonesia adalah Sintas (Save the Indonesian Nature and Threatened Species), yang sampai saat ini fokus pada kegiatan konservasi kucing liar, Harimau Sumatra dan Macan Tutul Jawa. Menurut Hariyo T. Wibisono, Direktur SINTAS Indonesia, data bentang alam Harimau Sumatra yang tidak lengkap membuat upaya konservasinya tidak maksimal. Untuk berkontribusi terhadap kesenjangan ini, Sintas telah melakukan sejumlah studi diantaranya identifikasi keberadaan dan sebaran lokasi Harimau Sumatra yang ternyata ada di 23 lanskap di Sumatra. “Pada 2007-2009, kita mengadakan ‘Sumatra wide tiger survey’ yang secara umum untuk mengetahui bukan hanya ada di mana saja tetapi juga pola sebarannya,” kata Hariyo.

Sintas biasanya memulai kegiatannya dengan melakukan survey populasi dan occupancy satwa, yang dilanjutkan dengan survey konektivitas atau koridor satwa, dan studi pergerakan satwa. Sintas juga telah melakukan kajian lain terhadap sebaran dan habitat Macan Tutul Jawa dan satwa kunci lain di Pulau Jawa dan membantu pendampingan pengelolaan Macan Tutul Jawa di TN Meru Betiri. Selain itu, Sintas juga aktif mengkomunikasikan ilmu pengetahuan yang sudah tervalidasi dari kajian paper yang sudah pernah dipublikasikan khususnya untuk Macan Tutul Jawa, mempublikasikan artikel melalui media sosial, dan memberikan paparan melalui webinar.

Dari sisi perburuan dan pemanfaatan satwa liar, menurut Dwi N. Adhiasto, Pembina Yayasan SCENTS Indonesia, sejak lama sudah ada pihak-pihak yang memperdagangkan dan memanfaatkan bagian tubuh satwa seperti serbuk tulang harimau, atau sekresi ikan paus, yang konon digunakan untuk keperluan pengobatan. Adanya permintaan pasar ini membuat perburuan dan peredaran illegal satwa liar masih terus berlanjut dan saat ini menempati peringkat ketiga di dunia dengan nilai mencapai US$ 23 miliar per tahun, melibatkan ribuan jenis satwa dan tumbuhan terancam punah. “Indonesia merupakan salah satu negara sumber satwa liar dan sekaligus pasar,” kata Dwi.

Berbagai modus operandi perdagangan satwa liar tersebut, menurut Dwi cukup terorganisir sehingga kerap tidak terdeteksi oleh aparat. Kejahatan terorganisir ini berlangsung lintas negara dan lintas benua, dan biasanya melibatkan kejahatan-kejahatan lain seperti perdagangan obat terlarang dan kegiatan pencucian uang. “Hasil perdagangan trenggiling itu ditutupi oleh perusahaan-perusahaan fiktif sebagai kamuflase,” kata Dwi.

Maraknya perburuan dan peredaran satwa liar ini bisa berlatar belakang beragam motif, mulai dari sekedar hiburan, hobi, gaya hidup, status, atau prestise, alternatif pendapatan meski ada pula yang memang melakukannya sebagai bisnis profesional, ada juga alasan balas dendam seperti di Sumatra, di mana kekesalan warga menyebabkan mereka menjual gading gajah, atau untuk keperluan tradisi kepercayaan dimana acara seremoninya menggunakan satwa liar tertentu sebagai simbol.

Sebagian pelaku perdagangan satwa liar ini, khususnya mereka yang berada di tingkat tapak, mengaku tidak tahu adanya perizinan yang harus dipatuhi. Mereka mengaku tidak tahu adanya izin berburu, izin karantina, dan sebagainya. Para pelaku tingkat rendah ini adalah pemburu dan penampung di tingkat lokal yang melakukan transaksinya secara sederhana (tunai). Kelompok-kelompok ini multi-etnis dan ragam komunitasmya terbatas. Sedangkan di tingkat menengah ke atas, ada monopoli dan penguasaan oleh etnis tunggal (keluarga) karena mereka sangat mengandalkan unsur kepercayaan (trust). Mereka juga tak hanya berjualan barang ilegal tetapi juga legal, dengan skala trans-nasional dan mencakup kegiatan lain seperti financial crime, layering/shell company.

Dwi mengingatkan, di tengah pandemi seperti saat ini, transaksi perdagangan satwa liar ternyata juga ikut memanfaatkan peluang transaksi secara online. Transaksi yang bisa dilakukan melalui transfer, tidak memerlukan toko fisik, dan bisa menggunakan jasa ekspedisi/cargo membuat pelaku merasa lebih aman karena peluang terdeteksi oleh aparat lebih kecil. Untuk itu, upaya penegakan hukum oleh pemerintah perlu diperketat “Penggunaan teknologi penting sekali untuk pengungkapannya,” kata Dwi.

Materi presentasi bisa di download DISINI.

Simak bahasan lebih mendalam dari para pemateri melalui video berikut:;