Serial Webinar “Mengelola Yang Tersisa” Seri #16. NDC & Ketahanan Iklim

Serial Webinar “Mengelola Yang Tersisa” Seri #16. NDC & Ketahanan Iklim

Indonesia - 29 April, 2021

Pemerintah Indonesia telah memiliki rencana aksi iklim nasional yang mencakup target-target, kebijakan, maupun beragam upaya sebagai tanggapan terhadap isu perubahan iklim, sekaligus sebagai kontribusi untuk mencapai target global sesuai ratifikasi terhadap Paris Agreement pada 2016. “Kami di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah memiliki komitmen untuk melakukan upaya-upaya baik mitigasi maupun adaptasi,” kata Sri Tantri Arundhati, Direktur Adaptasi Perubahan Iklim, Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (Ditjen PPI), KLHK dalam webinar bertajuk “NDC & Ketahanan Iklim” yang diselenggarakan Tropenbos Indonesia, Sabtu 17 April 2021.

Pada awalnya, menurut Tantri, yang dalam seminar ini membawakan materi berjudul “NDC dan Ketahanan Masyarakat”, negara-negara maju menginginkan agar semua negara melakukan penurunan emisi gas rumah kaca untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Namun sayangnya, emisi (terutama CO2) yang sudah terlanjur terakumulasi di atmosfir ternyata bisa bertahan hingga 100 tahun dan tidak bisa langsung turun secara drastis, sehingga dampaknya tetap ada. Karena itu, menurut Tantri, selain melakukan mitigasi, di dalam kontribusi yang ditetapkan secara nasional (NDC), Indonesia juga berkomitmen menurunkan emisi sebesar 29% pada 2030 dengan kekuatan sendiri, atau hingga 41% bila dengan bantuan mitra pembangunan negara lain.

Indonesia perlu berkomitmen terhadap penurunan emisi untuk menghadapi perubahan iklim karena beberapa alasan seperti, letak Indonesia sebagai negara kepulauan yang rentan terhadap perubahan tinggi gelombang. Belum lagi tanda-tanda alam yang sudah mulai terlihat seperti berkurangnya salju di puncak Jayawijaya yang bahkan diramalkan bisa hilang dalam 10 hingga 20 tahun mendatang. “Sayang sekali kalau ini terjadi karena walau negeri tropis, kita punya salju,” kata Tantri. Kenaikan suhu udara ini juga berdampak pada berbagai hal mulai dari sektor pangan, air, maupun ekosistem. Kondisi cuaca yang ekstrim pun semakin sering terjadi dan ada risiko perubahan besar yang mendadak seperti banjir bandang di lokasi yang sensitif terhadap perubahan iklim. “Saat musim hujan, kita sudah merasakan sendiri curah hujan sangat lebat dan di musim kemarau kadang-kadang masih hujan juga, maka sering disebut kemarau basah. Suhu laut mengalimi kenaikan, salinitas meningkat, tinggi gelombang meningkat. Ini berdampak pada aktivitas kita semua,” katanya.

Di dalam NDC adaptasi Indonesia, menurut Tantri ada 3 ketahanan yang menjadi target, yaitu ketahanan ekonomi, sosial dan sumber penghidupan, ketangguhan ekosistem dan lanskap, yang masing-masing telah memiliki program yang akan terus diintensifkan. KLHK juga telah menyusun strategi adaptasi dalam road map NDC, dan mengembangkan “sidik”, yaitu sistem informasi data indeks kerentanan yang sifatnya nasional dengan menggunakan data BPS. Selain itu, KLHK juga memiliki Program Kampung Iklim (ProKlim) yang bertujuan untuk mendorong kelompok masyarakat melakukan kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, memberikan pengakuan terhadap aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di itngkat lokal oleh kelompok masyarakat, dan memberikan pengakuan terhadap Pemerintah Daerah dalam penguatan pelaksanaan ProKlim. “Kelembagaan masyarakat harus ada untuk menggerakkan kegiatan-kegiatan tersebut,” kata Tantri. Sesuai UU No.40/2007 yang mewajibkan BUMN untuk melakukan tanggung jawab sosialnya, dunia usaha pun berpartisipasi didalam aksi ProKlim melalui kegiatan CSR (Corporate Social Responsibility). Aksi ProKlim di tingkat tapak ini misalnya termasuk penghijauan, penanaman, dan pengelolaan sampah.

Pembicara kedua dalam webinar ini adalah peneliti Tropenbos Indonesia, Atiek Widayati, yang menjelaskan tentang serangkaian kegiatan yang telah dilakukan TI dalam mendorong lanskap cerdas iklim. TI mengambil pendekatan lanskap sebagai payung bagi kegiatan cerdas iklim karena sangat relevan bagi kondisi saat ini. Konteks lanskap di sini meliputi fungsi tata air, keanekaragaman hayati, produksi oleh masyarakat maupun perusahaan, dan berbagai interkoneksi antara elemen-elemen yang ada di lanskap tersebut. Untuk mencapai lanskap cerdas iklim, menurutnya, diperlukan sejumlah perbaikan, seperti tata kelola yang inklusif dan partisipatif, perbaikan pengelolaan lahan, dan keterlibatan sektor swasta. “Sebelum melakukan berbagai intervensi, perlu ada pemahaman di tingkat lanskap, adanya sensitivitas dan kapasitas adaptif masyarakat dalam menyiasati dampak-dampak iklim melalui kearifan lokal,” katanya.

Kajian adaptasi dan kerentanan iklim yang sudah dilakukan TI dimulai dari unsur-unsur yang ada di lanskap tersebut, seperti air, sumber daya hutan, hewan-hewan perburuan, apa saja yang mereka alami, termasuk bencana iklim apa yang mereka hadapi. “Karena studi ini bersikap studi persepsi, kita juga mencari tahu bagaimana persepsi masyarakat terhadap komponen iklim,” jelas Atiek tentang studi yang dilakukan TI melalui FGD di 4 lanskap, yaitu di Lanskap Hulu (Simpang Dua/SD), Lanskap Transisi (Gunung Palung/GP), Lanskap Gambut Pesisir (Sungai Putri), dan Lanskap Gambut Pelang. Sebelum melakukan intervensi, TI juga mencari tahu persepsi para pihak. Misalnya, adanya anggapan bahwa ketersediaan air di Ketapang kerentanannya tinggi karena adanya pemanfaatan air oleh perusahaan skala besar seperti tambang. Setelah itu langkah selanjutnya adalah validasi oleh para pihak dan konsultasi dengan para pihak yang juga dilaksanakan di tingkat lanskap.

Berdasarkan hasil studi, TI menyusun teori perubahan (ToC) dan mendorong perubahan perilaku para aktor. Di Lanskap Hulu, misalnya, di mana masyarakat merasa rentan dalam produksi karet dan fungsi hutan yang sudah tidak mendukung lagi, TI berusaha memperbaiki sumber penghidupan berbasis hutan dan kebun lokal/agroforestry, hasil hutan bukan kayu, peningkatan kapasitas sumber daya manusia melalui Sekolah Lapang, serta melakukan beberapa pendekatan lain seperti melalui Perhutanan Sosial atau pendekatan pasar. Sedangkan di Lanskap Gambut Pelang, selain dilakukan berbagai upaya perbaikan mata pencaharian, juga dilakukan upaya pencegahan kebakaran yang melibatkan para pemangku kepentingan.

Sementara itu, Niken Sakuntaladewi, Peneliti Bidang Sosial Ekonomi pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI), Badan Litbang dan Inovasi, KLHK, menjelaskan tentang aneka tantangan yang dihadapi masyarakat desa dalam menghadapi perubahan iklim dengan contoh sebuah desa yang sebagian besar wilayahnya berupa lahan gambut, yaitu Desa Tumbang Nusa, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Tantangan terbesar yang dihadapi masyarkat di desa ini adalah kebakaran di musim kemarau dan banjir di musim hujan. Pada 2014-2015, kebakaran yang terjadi bahkan melanda lebih dari 50% wilayah desa tersebut.

Masyarakat desa ini awalnya hanya menetap di sepanjang tepian Sungai Kahayan yang berlahan mineral, tetapi kemudian mereka pindah ke sepanjang Jalan Trans Kalimantan, yang selesai dibangun pada 2013, meski ada sebagian warga yang memilih tetap tinggal di tepi sungai. Masyarakat desa ini memiliki mata pencaharian sebagai nelayan, petani (karet, sawit, buah), mencari purun, membuat pembibitan, beternak, atau berbudidaya madu kelulut. Satu keluarga rata-rata memliki 2-4 mata pencaharian yang bersifat musiman.

Lahan gambut semula tidak mereka gunakan sebagai lahan budidaya, tetapi hanya untuk memancing ikan. Mereka lebih banyak berinteraksi dengan lahan mineral dan sungai. Baru setelah pindah, mereka mulai menggarap lahan gambut, khususnya di pekarangan rumah mereka, dan menanam kelapa sawit, cokelat, merica, vanili, kayu manis, aneka tanaman buah, dan sayuran. Ada pula yang mempertahankan tanaman kayu di lahan gambut seperti jelutung, gaharu, balangeran, dan ada pula yang menanam sengon. “Ada semacam trial and error oleh masyarakat, mencoba mengadaptasikan tanaman dari lahan mineral ke lahan gambut,” tutur Niken. Berbeda dengan di lahan biasa, bertanam di lahan gambut memerlukan perlakuan dan input pertanian yang lebih menguras biaya. “Banyak yang harus mereka siapkan sebelum menanam tanaman di kebun mereka,” katanya. Kearifan lokal yang dulu tidak memanfaatkan lahan gambut kini mulai mereka tinggalkan. Meski dengan upaya teknologi, lahan gambut yang mereka tanami banyak terdegradasi dan menyebabkan kebakaran. Kebun buah yang rusak akibat kebakaran akhirnya justru membuat harapan panen yang menguntungkan dan investasi mereka sia-sia.

Menurut Niken, dari desa sendiri juga ada upaya lintas sektoral untuk mencegah api, melakukan persiapan pemadaman, menyiapkan selang dan pompa air sehingga bila terjadi kebakaran mereka telah siap dengan peralatan yang dibutuhkan. Desa juga telah melakukan patroli, mengalokasikan budget MPA (Masyarakat Peduli Api), melarang warga dari luar memancing karena sering membuat api untuk membakar ikan atau mengusir nyamuk, dan melakukan praktik pertanian tanpa bakar. Sebaliknya untuk menghadapi banjir, warga tidak banyak melakukan kegiatan untuk merespon selain memasang canal blocking. Sebagian warga justru senang kalau banjir, karena panen ikan melimpah.

Selain ketiga pembicara di atas, satu pembicara lagi adalah Dian Novarina, Deputy Director of Sustainability & Stakeholder Engagement, APRIL Group yang menjelaskan mengenai strategi APRIL dalam mencapai ketahanan iklim di tingkat tapak. Selain melakukan penelitian hidrologi di lahan gambut, APRIL juga telah melakukan pemodelan hidrologi skala lanskap di Pulau Padang, Sumatra, yang sampai saat ini masih berjalan, dan melakukan pemberdayaan masyarakat melalui prakarsa transformatif. “Upaya adaptasi dan mitigasi hanya bisa berhasil bila ada keterlibatan masyarakat; salah satu target ambisius yang dicanangkan adalah nol kemiskinan ekstrem di sekitar area APRIL,” kata Dian. Ia mencontohkan keberhasilan pemberdayaan masyarakat di Siak melalui program “one village one commodity” yang berhasil mengembangkan budidaya nenas.

Meski berorientasi pada penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan berkelanjutan dengan mengembangkan bisnis melalui diversifikasi produk dan bahan baku, sirkularitas dan produksi yang bertanggung jawab, Dian mengakui, APRIL masih memiliki sejumlah tantangan yang harus dipikirkan. Meski menanam 300 juta pohon setiap tahun di areal tanaman industrinya, mengoperasikan pabrik yang mengadopsi prinsip 5R, menghasilkan produk-produk yang biodegradable, masih ada kesenjangan dalam upaya mendaur ulang produk yang dihasilkan dan mengelola limbah yang dibuang. Dian menutup presentasinya dengan mengutip pesan pendiri APRIL, Soekanto Tanoto yang mengatakan, “Bisnis yang baik adalah baik bagi masyarakat, bagi negara, bagi iklim, bagi pelanggan, dan bagi perusahaan, hanya dengan demikian ia akan bisa bertahan.”

Serial webinar “Mengelola Yang Tersisa” ke-16 ini diikuti oleh sekitar 500 peserta dari berbagai latar belakang, baik LSM, Perguruan Tinggi, instansi pemerintah seperti Dinas Kehutanan dan KPH, dan sektor swasta.

Materi presentasi bisa di download DISINI.

Simak bahasan lebih mendalam dari para pemateri melalui video berikut: