Serial webinar “Mengelola Yang Tersisa” Seri #8 Quo Vadis Hutan Produksi Kita

Serial webinar “Mengelola Yang Tersisa” Seri #8 Quo Vadis Hutan Produksi Kita

Indonesia - 30 October, 2020

Seperti apa kondisi hutan produksi di Indonesia? Seperti apa produktivitasnya? Bagaimana kontribusinya terhadap ekonomi Indonesia? Itulah sebagian diantara topik-topik yang dibahas didalam serial webinar Tropenbos Indonesia “Mengelola Yang Tersisa” yang seri ke-8 ini bertajuk “Quo Vadis Hutan Produksi Kita”. Tak kurang dari 125 peserta mengikuti webinar ini baik melalui zoom maupun youtube streaming.

Menurut Petrus Gunarso, mantan direktur konservasi RAPP, saat ini hutan produksi kita tidak berproduksi secara kontinyu, tidak berorientasi pada kebutuhan pasar dalam negeri, dan masih memiliki banyak masalah. “Status keadaan hutan produksi ini sangat menyedihkan,” katanya. Ia juga mengutip data KLHK dimana pada 2019 kontribusi hutan produksi terhadap ekonomi Indonesia lebih kecil dari tahun sebelumnya. Ini terlihat dari PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) yang pada 2018 mencapai 2,86 triliun turun menjadi 2,73 triliun pada 2019. Produksi kayu bulat dari Hutan Alam turun dari 8,60 juta m3 pada 2018 menjadi 6,77 juta m3 pada 2019. Sementara produksi kayu bulat dari Hutan Tanaman Industri/HTI turun dari 40,14 juta m3 pada 2018 menjadi 36,23 juta m3 pada 2019.

“Dengan luas Hutan Alam 30 juta ha, dengan produksi 6,77 m3 per tahun, itu artinya produksi hanya 9 m3 per ha per tahun. Sedangkan luas Hutan Tanaman ada 4 juta ha yang tertanam, dengan produksi 36 juta m3 per tahun, produktivitasnya menjadi 45 m3 per ha per tahun,” papar Petrus. Dengan menggunakan hitung-hitungan sederhana ia menggambarkan, bila angka ideal produksi Hutan Alam seharusnya mencapai tak kurang dari 450 juta m3 per tahun, itu artinya produksi saat ini baru mencapai sekitar 1,5% saja. Begitu pula produksi di Hutan Tanaman yang idealnya tak kurang dari 360 juta m3 per tahun, saat ini realitanya baru tercapai sekitar 10% saja. Meski data tersebut hanya sekedar ilustrasi saja, bisa terlihat adanya ketimpangan yang besar antara angka ideal dan fakta yang ada di lapangan. Menurut Petrus, sampai saat ini data kebutuhan kayu per kapita juga tidak tersedia karena memang tidak ada studi yang mendetail atau komprehensif tentang hal itu.

Menurut Hartono Prabowo, Country manager FSC Indonesia, berbeda dengan masa lalu dimana kampanye yang sering digaungkan adalah jangan gunakan kayu tropis, kampanye sekarang justru belilah kayu tropis atau kita akan kehilangan hutan tropis. Itu berarti, pasar telah berubah. “Tapi, siapkah kita? Bagaimana dengan persaingan dengan Amerika Latin atau Afrika?” katanya.

Menurut data KLHK seperti dikutip Hartono, tahun 1993 Indonesia masih memiliki lebih dari 60 juta ha Hutan Alam. “Setelah 1998 jumlah luasnya turun luar biasa. Sampai tahun 2013, itu masih sekitar 20 juta ha dan saya kira akan stabil tetapi ternyata masih turun terus hingga 2018 menjadi sekitar 18 juta ha saja yang berizin dan sisanya menjadi ‘open access’,” katanya. Itulah menurutnya yang menjadi tantangan Hutan Alam. Sementara di Hutan Tanaman, pada 1993 luasnya baru sekitar 80,000 ha, pada 2013 menjadi sekitar 10 juta ha lebih, dan pada 2018 menjadi 11,000 ha lebih. Tetapi, kenaikan luasan itu ternyata tidak diikuti oleh kenaikan luas area yang ditanami, karena ternyata dari tahun ke tahun luas area yang ditanami ternyata justru turun, meski luas konsesi bertambah.

Hartono mengatakan, menurut data FAO (2020), Indonesia saat ini berada di urutan ke-10 negara yang memiliki hutan terluas di dunia. Namun, Indonesia berada jauh di belakang Brasilia, Rusia, Kanada, Amerika dan Cina, walaupun hutan di negara-negara tersebut bukan hutan tropis kecuali Brasilia. Saat ini, luas tutupan hutan Indonesia 92 juta ha, atau sekitar 2% dari luas total hutan dunia, termasuk di dalamnya hutan produksi. “Jadi bagaimana hutan kita memenuhi kebutuhan dunia? Ini menurut saya merupakan tantangan yang harus kita pikirkan bersama dan bagaimana menghadapinya,” katanya.

Menurut Hartono, Hutan Alam seharusnya fokus pada value/nilai, bukan pada volume karena sebetulnya nilai besar Hutan Alam bukan terletak pada kayu saja tetapi juga pada aspek lain seperti jasa lingkungan dan produk non kayu. Sayangnya, saat ini produksi Hutan Alam lebih banyak digunakan untuk industry kayu lapis yang merupakan produk masal. “Ibaratnya ini kain sutra yang dijual kodian meski seharusnya bernilai tinggi. Bayangkan, kayu yang umurnya ratusan tahun dibuat kayu lapis,” katanya. Ke depan, menurutnya, Hutan Tanaman memerlukan pengembangan melalui intensifikasi. Kehutanan Masyarakat yang saat ini belum berkembang pun perlu didorong pengembangannya. Selain itu, evalusi perlu dilakukan, misalnya untuk mengetahui industri apa saja yang membutuhkan kayu. “Jangan lupakan Hutan Rakyat, ke depan bisa jadi pendukung industri di kawasan tersebut, baik untuk serat, pertukangan, maupun energi. Integrasi juga perlu ada antara Perhutanan Sosial dan dunia bisnis agar dapat dirancang untuk bisa memberikan manfaat sebesar-besarnya.

Sependapat dengan Hartono, Direktur Tropenbos Indonesia Dr. Edi Purwanto memaparkan pentingnya peran Hutan Kemasyarakatan (Hutan Tanaman Rakyat/Hutan Rakyat dalam pemenuhan defisit kebutuhan kayu yang terjadi saat ini. Menurutnya, potensi pasokan kayu dari Hutan Kemasyarakatan dapat diperoleh dari Hutan Rakyat baik di Jawa maupun di luar Jawa, Hutan Sosial maupun Hutan Alam Sekunder di APL (Area Penggunaan Lain). Di selatan Jawa yang merupakan wilayah karst, misalnya, merupakan sumber potensial untuk kayu jati, mahoni, sonokeling, akasia, dan pinus. Sementara di bagian tengah Jawa yang subur dan merupakan wilayah vulkanik, potensi kayunya adalah sengon. Sedangkan di Madura yang merupakan wilayah karst, potensi kayu jati cukup besar karena masyarakatnya banyak yang menanam jati sebelum mereka pergi merantau.

Beberapa fakta menarik dari Hutan Rakyat di Jawa, menurut Edi, adalah produktivitas rata-ratanya yang ternyata tiga kali lebih besar dari Perhutani, yaitu mencapai 2,29 m3 per ha per tahun. Luasnya mencapai 1,7 juta ha dengan produksi kayu rata-rata bervariasi antara 6-7 juta m3 per tahun, dimana 63% digunakan untuk industri dan 37% untuk kebutuhan masyarakat, dan 70% bahan baku industri mebel dan kerajinan ternyata juga berasal dari Hutan Rakyat. Tak hanya di Jawa, di beberapa daerah di luar Jawa pun ternyata juga merupakan penghasil kayu seperti di Bulukumba dengan kayu jati, bitti, sengon, jati putih dan mahoni, atau di Jeneponto Konawe Selatan, Muna dan Buton yang juga merupakan penghasil kayu jati. “Kita mempunyai Hutan Rakyat yang cukup produktif di beberapa tempat di Jawa maupun di luar Jawa,” katanya.

Sebagai penyedia kayu, Edi mengakui, tampaknya peran Hutsos agak terlupakan. Selama ini fokus pada Hutsos lebih pada perjuangan agraria dan jasa lingkungan seperti karbon, air, atau ekowisata. Namun apakah masyarakat mau memproduksi kayu atau tidak, ia mengatakan, biasanya hal itu tergantung dari tradisi yang sudah ada di dalam masyarakat itu sendiri. “Bila mereka telah memiliki tradisi pengelolaan hutan seperti kebun campur atau tembawang atau agroforestry, ini potensi utk dikembangkan,” katanya. Sayangnya, budaya masyarakat ini sering tidak sejalan dengan izin yang diperoleh. Pada masyarakat yang tidak memiliki budaya agroforestry, izin ternyata justru diperoleh, begitu pun sebaliknya. Kadangkala, izin hutsos juga diperoleh di lokasi yang jauh dari domisili masyarakat sehingga pelaksanaan pengelolaan tidak efektif dan berisiko diterlantarkan.

Pada 2019 lalu Tropenbos Indonesia membuat metode idetifikasi potensi Hutsos di Kalbar dimana hasilnya tidak sama dengan PIAPS saat ini. “PIAPS selalu menekankan ‘clean and clear’ tetapi kita tidak menetapkan ‘clean and clear’ sebagai harga mati,” kata Edi. Banyak wilayah-wilayah bekas HPH tidak dimanfaatkan dimana sebenarnya ini masyarakat bisa masuk, misalnya dengan pola kemitraan atau bahkan meninjau ulang izin yang diberikan bila ternyata perusahaan sudah tidak aktif, karena ternyata lahan-lahan tersebut banyak yang telah dikelola masyarakat.

Namun demikian, pengembangan potensi Hutsos sebagai penyedia kayu memerlukan dukungan perizinan yang memadai. Edi mencontohkan kasus yang terjadi di Gunung Kidul, Jogjakarta, di mana masyarakat mengalami kesulitan dalam memperoleh izin pengusahaan kayu. Untuk itu, Edi mengusulkan agar di masa mendatang prosedur penatausahaan hasil hutan kayu Perhutanan Sosial perlu disederhanakan sehingga memudahkan masyarakat/petani dalam mengakses dan mengoperasikan.

Selain dari Hutsos, menurut Edi, potensi lain sumber kayu adalah Hutan Alam APL di luar Jawa, seperti kayu gelam, atau macaranga yang merupakan tanaman-tanaman pioneer yang cepat tumbuh dan dapat digunakan untuk kebutuhan industri. Untuk itu ia merekomendasikan perlunya pembuatan model bisnis pengelolaan dan pemanfaatan Hutan Alam Sekunder di APL yang diintegrasikan dengan strategi pemenuhan kebutuhan kayu industri, sekaligus mengendalikan kebakaran hutan dan lahan.

Sementara itu, menurut Dr. Titiek Setyawati, Peneliti dari Badang Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, berdasarkan UU No.41 tahun 1999 fungsi pokok hutan sebetulnya sudah ditetapkan, yaitu sebagai hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Itu juga sudah sejalan dengan SDG (Sustainable Development Goals) yang mendorong untuk mendukung pemanfaatan berkelanjutan terhadap ekosistem daratan, mengelola hutan secara berkelanjutan, sehingga dibangunlah suatu kriteria untuk menentukan keberhasilan pengelolaan hutan produksi secara lestari. “Kita sudah menuangkan dalam peraturan pemerintah mengenai kinerja pengelolaan hutan baik melalui Permen maupun Perdirjen, sehingga seharusnya kita tidak perlu khawatir,” katanya. Lagipula, dari jumlah luasan yang ada, 51% kawasan hutan telah dialokasikan sebagai kawasan lindung/konservasi, sedangkan sisanya yang 49% itulah yang dialokasikan untuk peruntukan lain termasuk untuk Hutan Alam (HA), Hutan Tanaman (HT), dan Hutan Produksi Konversi (HPK). “Saat ini Indonesia telah mengembangkan strategi pengelolaan hutan produksi yang bertanggung jawab/berkelanjutan. Strategi ini juga memadukan pengelolaan HP, HA, HT,” katanya.

Namun, Titiek mengakui bahwa luas konsesi hutan alam produksi terus menurun, dari 60 jutaan ha tahun 1993 tersisa 19 juta ha tahun 2017. Terjadi peningkatan intensifikasi produksi yang pada akhirnya mengubah karakteristik dan menurunkan nilai/value HA. Pemanfaatan kayu dari HA lebih banyak diproses sebagai kayu gergajian, kayu lapis dan turunannya yang merupakan produk komunitas berbasis kayu yang paling rendah nilainya selain kertas. “Melihat data WWF dan ZSL, 2020, yang menggunakan LPI/Living Planet Index, penurunan terbesar nilai LPI yaitu sebesar 94% ternyata berasal dari tropical sub-region di Amerika,” katanya. LPI ini menggambarkan tren populasi spesies yang diamati yang tersebar di hutan sejumlah negara termasuk Indonesia. Dari angka tersebut terlihat bahwa kerusakan hutan terjadi tidak hanya di Indonesia tetapi juga di berbagai belahan dunia dan merupakan tanggung jawab seluruh warga dunia.

Untuk memperoleh hutan yang lestari, menurut Titiek, sejumlah prasyarat harus dipenuhi, diantaranya ada kepastian hukum, tata batas hutan yang jelas, penataan hutan hingga di tingkat petak dan blok, inventarisasi potensi hutan, kelembagaan pengelola di tingkat tapak, dan tersedianya rencana pengelolaan jangka panjang, menengah dan pendek yang disertai pemantauan dan evaluasi efektivitas pengelolaan. Sejak 15 tahun lalu pengelolaan hutan berbasis ekosistem telah diperkenalkan dan sekarang strategi bentang alam telah digunakan didalam rencana pengelolaan hutan. Didalam strategi Kementerian LHK 2010-2014 terdapat pula 8 rencana prioritas untuk menyelamatkan hutan, yang diantaranya adalah pemantapan kawasan hutan berbasis pengelolaan hutan lestari dan revitalisasi hutan dan produk kehutanan. “Pertanyaannya, bagaimana menyeleraskan semua rencana ini supaya berjalan dengan baik? Ketika membuat rencana selanjutnya, sudahkan capaian rencana sebelumnya dievaluasi?” katanya.

Diantara sejumlah rekomendasi yang ia sampaikan, Titiek mengusulkan agar pengelolaan hutan sebaiknya lebih berorientasi pada upaya menjaga fungsi produksi hutan yang selanjutnya diikuti dengan perbaikan ekologi dan pada akhirnya bermanfaat secara sosial ekonomi bagi masyarakat sekitar, tidak ke fungsi produksi kayu saja. Selain itu pemerintah maupun masyarakat harus mendukung upaya pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan. Pemerintah selayaknya juga meninjau ulang kebijakan terkait hutan alam produksi untuk menentukan indikator keberhasilan dan mencapai keberlanjutan hutan alam lestari.

Materi presentasi bisa di download disini

Tonton rekaman webinar: