Serial Webinar “Mengelola Yang Tersisa” Seri #7 Kearifan Lokal di Era Perubahan Iklim

Serial Webinar “Mengelola Yang Tersisa” Seri #7 Kearifan Lokal di Era Perubahan Iklim

Indonesia - 19 October, 2020

Di dalam kehidupan masyarakat agraris khususnya di Jawa pada masa lalu, dikenal salah satu kearifan lokal berupa “pranata mangsa”, yaitu suatu aturan penanda musim atau ‘kalender’ bertani, yang sayangnya kini sudah nyaris tak lagi dikenal. Seperti yang dikatakan oleh Dr. Ir. Winarso Drajad Widodo, M.S. dari Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB dalam webinar seri ke-7 bertajuk “Kearifan Lokal di Era Perubahan Iklim”, pranata mangsa sekarang telah menjadi warisan yang terpinggirkan. Padahal, sebagai sebuah ilmu, pranata mangsa tak hanya mengandung pengertian teknis namun sekaligus juga politis, religi, maupun spiritual. Pranata mangsa berkaitan dengan terlihatnya Lintang Waluku di Timur yang menjadi tanda saat musim tanam/tandur padi tiba.

Pergantian musim ini juga dapat dicermati melalui tanda-tanda yang terlihat pada tanaman seperti munculnya tunas-tunas bamboo (rebung) atau berseminya sinom/daun muda pohon asam. Karena pranata mangsa ini biasanya ditujukan untuk pertanian, perhatian besar juga diberikan terhadap curah hujan. Melestarikan pranata mangsa dalam pengairan, berarti pula mengairi sawah di saat curah hujan mulai habis, dengan air yang ditampung di embung ketika air berlimpah di musim penghujan. “Dengan memperhatikan pranata mangsa dan ‘menyimpan’ air yang melimpah di musim hujan, tanaman dapat tetap tumbuh di musim kemarau,” kata Winarso. Selain bermanfaat dalam ‘pemanenan’ air hujan, pranata mangsa juga dapat memprediksi bencana. Dengan memperhatikan pranata mangsa, selain pertanian dapat berlangsung sepanjang tahun petani memiliki pedoman jadwal tanam yang murah karena mengikuti perjalanan musim secara alamiah.

Namun tak terelakkan, faktanya pranata mangsa kini telah ditinggalkan. Bukan hanya karena generasi sekarang tak lagi mengenal kearifan lokal ini, aneka media yang menjadi penanda pranata mangsa kini juga mulai ‘menghilang’. Meski tetap berlaku, seiring peredaran semu matahari, pranata mangsa tak lagi dipahami. “Wadahnya tetap, tetapi isinya berubah karena sudah terjdi perubahan di muka bumi, perbuatan manusia telah menyebabkan perubahan ini, tanaman diusahakan dengan menyimpang dari musim, misalnya menanam padi di musim kemarau sehingga air yang diperlukan menjadi lebih banyak, maka terjadi kerusakan tapak yang harus dibayar,” papar Winarso.

Menurut Prof. Daniel Murdiyarso, Peneliti Senior CIFOR/Dosen IPB, perubahan iklim dan variabilitas iklim saat ini berjalan bersamaan, sehingga pranata mangsa yang dulu begitu akurat dapat menjadi acuan bagi masyarakat agraris, kini sudah mengalami pergeseran dan perubahan. Pranata mangsa yang memiliki dasar pengamatan empiris yang kuat dan panjang dengan kriteria dan indikator fenomena alam kini perlu diverifikasi lagi supaya tetap akurat.

“Seluruh bagian belahan bumi saat ini tren-nya adalah mengalami peningkatan suhu antara 0,9 – 4 derajat dalam kurun waktu 100 tahun. Padahal, satu derajat saja implikasinya luar biasa,” katanya. Selain pengaruh perubahan iklim, menurut Murdiyarso, akurasi dan ketepatan pranata mangsa telah terkendala oleh hilangnya indikator-indikator penting karena kerusakan alam akibat ulah manusia, seperti misalnya perubahan peruntukan lahan dan agenda ekonomi karena kebutuhan masyarakat yang menyebabkan rusaknya kelestarian alam.

Kebiasaan membakar untuk membuka lahan berladang di Kalimantan Barat, misalnya, mungkin di masa lalu biasa dilakukan dan tidak menimbulkan masalah, tetapi sekarang justru menjadi bencana. Hal ini, menurut Dr. Edi Purwanto, Direktur Tropenbos Indonesia, disebabkan karena menurunnya daya dukung daya tampung sehingga alam menjadi sensitif terhadap kerusakan. “Kondisi kearifan lokal dapat terjadi bila kebutuhan masyarakat masih subsisten,” katanya. Mempertahankan romantisme masa lalu memang tak bisa lagi dilakukan karena penguasaan lahan berubah, masyarakat berubah, dan daya dukung lahan pun berubah.

Namun demikian, ada kearifan lokal yang masih cukup kuat bertahan hingga sekarang seperti yang dilakukan oleh masyarakat suku Baduy Dalam, yang melakukan pembagian tata wilayahnya meliputi “area suci”, “area dalam” dan “area luar”. “Area suci mereka yang berupa Hutan Larangan menjadi wilayah yang dialokasikan untuk resapan air. Sedangkan area dalam merupakan tempat masyarakat tinggal dan beraktivitas, sementara area luar merupakan tempat melakukan kegiatan yang berhubungan dengan air,” papar Edi. Sejumlah aturan adat (pikukuh) juga masih ditaati hingga sekarang, yaitu larangan memasuki Hutan Larangan (leuweng kolot) untuk menebang pohon, membuka ladang, atau mengambil hasil hutan lainnya, tidak menebang jenis-jenis pohon tertentu, dan tidak menggunakan bahan kimia seperti pupuk atau pestida. Perladangan yang mereka lakukan juga sepenuhnya masih mengikuti ketentuan adat.

Sebentuk kearifan lokal yang bertahan dan diadaptasi ke masa kini oleh masyarakat lokal ternyata juga dapat menjadi ‘penyelamat’ seperti dikisahkan oleh Dr. Herry Yogaswara, M.A. dari Pusat Penelitian Kependudukan LIPI tentang masyarakat pesisir utara Pulau Simeulue, Aceh. Pengetahuan kebencanaan yang muncul dari kearifan lokal di kawasan ini telah terbentuk turun temurun dan dikemas dalam bentuk budaya yang dikenal sebagai “SMOG”, yang merupakan analogi dari gelombang tsunami. Smog merupakan rangkaian senandung rima yang berisikan pesan kesiapsiagaan jika terjadi gempa besar yang dapat menimbulkan tsunami. Kisah SMOG inilah yang mengingatkan masyarakat untuk pergi mengungsi sehingga saat tsunami terjadi, meski Simeulue termasuk daerah yang tersapu gelombang tsunami cukup parah, korban jiwa di tempat ini relatif kecil.

Sebaliknya, memudarnya kearifan lokal, dipercaya dapat menimbulkan terjadinya ‘bencana’. Seperti yang terjadi pada masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul. Pada 2019 terjadi tanah longsor yang menimbun sebuah kampung di Kasepuhan Sirna Resmi, dimana sesepuhnya mengakui adanya degradasi kearifan lokal. “Pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat adat di sini meliputi pengetahuan terkait tata ruang yang juga mencakup wilayah hutan, serta alokasi ruang dan tata cara bersawah dan pemukiman pada kontur tertentu,” papar Herry.

Menurut Edi, saat ini yang diperlukan adalah bagaimana agar bentuk-bentuk kearifan lokal ini bisa ditarik ke dalam bentuk kebijakan. “Bukan dalam tataran normatif, tapi cukup ampuh untuk menjadi senjata pamungkas dalam ranah kebijakan untuk negara kita,” lanjutnya. Meski sebetulnya sudah dipahami oleh pengetahuan modern yang sesuai dengan pengetahuan tradisional, menegakkan peraturan yang sudah ada seperti melindungi kiri kanan sungai, menurutnya sangat sulit dilakukan. Terlebih dengan jumlah penduduk yang semakin padat dan industrialisasi yang juga sudah masuk ke wilayah pedesaan.

Herry menambahkan bahwa kebijakan-kebijakan yang mendukung kearifan lokal itu sebetulnya sudah ada, baik dalam bentuk UU, Perda, dan sebagainya. “Kebijakan terkait Hutan Adat, misalnya, didampingi kebijakan menteri terkait kearifan lokal. Instrumen itu sudah ada tinggal bagaimana implementasinya,” katanya. Kebijakan perubahan iklim memang mendapat porsi besar dalam kebijakan pemerintah. Kebijakan ini juga diusahakan melibatkan masyarakat lokal, agar bisa bersifat inklusif. Pendekatan jurisdiksi tersebut juga perlu melibatkan para pemangku kepentingan dan LSM, termasuk untuk kebijakan anggaran, dimana saat ini baik untuk mitigasi maupun adaptasi iklim sebetulnya sudah ada budget tadging-nya.

Seri ke-7 webinar Tropenbos Indonesia “Mengelola Yang Tersisa” kali ini berlangsung pada Kamis, 15 Oktober 2020 dengan dihadiri oleh sekitar 165 peserta. Anda dapat menyaksikan kembali paparan lengkap keempat narasumber webinar ini melalui video YouTube dibawah.

Materi presentasi bisa di download disini

Tonton rekaman webinar: