Serial Webinar “Mengelola Yang Tersisa” Seri #6 Masa Depan Agrokomoditas di Kawasan Hutan

Serial Webinar “Mengelola Yang Tersisa” Seri #6 Masa Depan Agrokomoditas di Kawasan Hutan

Indonesia - 28 September, 2020

Hutan bukanlah kertas putih, di situ ada sejarah, dengan beragam ketergantungan masyarakat pada hutan, dia membentuk ragam budaya di seluruh tanah air. Itulah yang dikatakan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Ir. Wiratno, MSc., dalam acara webinar seri ke-6 Tropenbos Indonesia yang bertajuk “Masa Depan Agrokomoditas di Kawasan Hutan”, 26 September 2020 lalu. “Itu harus kita acknowledge dalam suatu perencanaan yang berbeda dibanding pada masa lalu di mana hutan adalah kayu,” katanya.

Saat ini, dari sekitar 74.000 desa di seluruh Indonesia, 27.000 desa diantaranya berdekatan dengan kawasan hutan negara, dan sekitar 6.400 lebih desa berbatasan langsung dengan kawasan konservasi yang luasnya kira-kira 27 juta ha. “Di kawasan konservasi ini kita dorong zona-zonanya untuk dapat mengakomodir ketergantungan masyarakat yang masih sangat tinggi, termasuk untuk HHBK seperti rotan, manau, getah-getahan, bamboo, maupun sistem sungainya yang menjadi kawasan penting di kawasan konservasi dan hutan lindung,” kata Wiratno.

Namun demikian, ia melanjutkan, tentu saja diperlukan strategi berbagi ruang yang baik agar komoditi yang ditanam masyarakat tidak dirusak oleh satwa liar, seperti yang terjadi di Hutan Lindung Tanggamus dimana akhirnya diturunkan gajah latih untuk menghalau gajah-gajah liar yang merusak tanaman masyarakat. “Harus ada strategi detail berbagi ruang di kawasan-kawasan yang sensitif terhadap satwa liar,” pesannya.

Selain itu, menurut Wiratno, sejumlah strategi lain perlu diterapkan seperti pemantapan kawasan, penguatan kelembagaan, penguatan kelompok melalui model kemitraan, pemasaran dan pengembangan berbagai produk komoditas sehingga kelompok tani tidak lagi tergantung pada tengkulak. Penguatan kelompok masyarakat melalui praktik pertanian yang lebih maju perlu terus dilakukan, seperti yang dilakukan di Taman Nasional Gunung Ciremai oleh IPB dimana beberapa mikroba mampu mempercepat pertumbuhan tanaman pertanian (bioprospecting), sehingga menanam padi tidak perlu lagi menggunakan pupuk dan ini sudah diterapkan oleh masyarakat di sekitar Gunung Ciremai, lalu ada pula mikroba antifrost, dan mikroba untuk menyelesaikan masalah hama.

Sementara itu, menurut Dr. Hery Santoso, di era krisis akibat covid seperti saat ini, sektor agro dan UMKM termasuk diantara sektor yang bisa bertahan. Sektor agraria tumbuh kuat sejak satu abad lalu, meskipun di tahun 2009 World Bank menerbitkan laporan bahwa Indonesia, Malaysia dan Vietnam akan keluar dari negara agraris. Namun laporan ini dikritik karena pertumbuhan lahan pertanian di ketiga negara tersebut justru sangat besar. Malaysia 40%, Vietnam 30%, Indonesia diatas 20%. Meski jumlah penduduk di pedesaan menurun dan GDP di sektor pertanian juga turun, tetapi luas lahan pertanian di Indonesia justru meningkat.

Peningkatan lahan pertanian di mana agrokomoditas tersebut diproduksi ternyata terjadi di wilayah pedalaman. Menurut Hery, hal itu terjadi melalui proses yang sering disebut sebagai “booming”, yaitu melejitnya harga suatu komoditas tertentu di pasaran, sehingga masyarakat tergerak untuk menanam komoditas tersebut. Ada masa-masa di mana cokelat, kopi, atau karet menjadi komoditas yang sangat menarik karena harganya yang menggiurkan.

Namun karena adanya ketimpangan penguasaan lahan, masyarakat tidak mempunyai pilihan selain memanfaatkan lahan hutan negara yang lokasinya banyak berdekatan dengan desa mereka. “Saat ini sekitar 21% orang miskin di Indonesia adalah kalangan masyarakat desa hutan,” kata Hery. Dengan kondisi seperti itu, ekspansi pertanian sektor agro di wilayah hutan akhirnya tidak mempunyai pilihan lain selain masuk ke pedalaman. “Agrokomoditas di kawasan hutan adalah bagian dari sejarah panjang negeri yang tak bisa ditolak,” kata Hery. Bahkan ada desa yang wilayahnya sepenuhnya berada di dalam kawasan hutan sehingga bila persoalan ini tidak diselesaikan, menurut Hery, ada dua hal yang akan terjadi, yaitu marginalisasi lahan dan kriminalisasi.

Namun dari sisi legalitas, agrokomoditas yang berada di kawasan hutan tentu saja tidak legal. Untuk itu, menurut Hery, sebetulnya ada 3 instrumen kebijakan yang disediakan pemerintah sebagai pedoman penataan dan penanganan, yaitu: 1) Perhutanan Sosial (Permen LHK No.83/2016) dengan target 12.7 juta ha, 2) Reforma Agraria (Perpres No.86/2018 dengan target program 9 juta ha, dan 3) Gakum UU No.18/2013. Sayangnya, instrumen kebijakan itu tampaknya belum mampu memutus mata rantai pembiaran agrokomoditas di kawasan hutan. Padahal, tantangan serius yang sudah menanti adalah standar prasyarat (climate bill) negara-negara UE dan negara pembeli lainnya, yang tentunya akan sulit dipenuhi oleh pekebun rakyat. Secara kultural lahan pekebun rakyat ada di bekas ladang mereka, dan banyak diantaranya berada di dalam kawasan hutan.

Menurut data Sawit Watch, saat ini luas lahan sawit di Indonesia mencapai 22,34 juta ha. Ini lebih besar dari data yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan, yaitu 16,38 juta ha (2019). Dari data tersebut, menurut Andi Inda Fatinaware, Direktur Sawit Watch, 35% merupakan kebun rakyat, 65% milik swasta dan negara (PTPN). Luasan sawit ini menyimpan konflik-konflik di masyarakat, dimana tercatat ada 1054 konflik dengan 543 kasus terkait konflik tenurial, 162 terkait kemitraan, 77 konflik terkait buruh, dan lainnya adalah konflik dengan masyarakat adat dan kriminalisasi terhadap masyarakat lokal. “Data-data mengenai sawit ini juga dapat diakses di portal online “Tanah Kita”,” kata Inda.

Menurut Inda, pelaksanaan Inpres Moratorium Sawit dan evaluasinya saat ini masih sangat terbatas. Di tingkat daerah, masih banyak daerah yang belum mendapat info terkait Inpres ini. “Sosialisasi dan koordinasi yang dilakukan Pemerintah Pusat juga masih minim. Bila Inpres ini seperti pisau, belum ada yang dibedah,” kata Inda. “Meski seharusnya ada laporan setiap 6 bulan dari tim kerja, tetapi kita tidak tahu apakah tim yang berada dibawah koordinator Kementerian Perekonomian ini telah melakukan tugasnya, atau adakah road map/juklak-juknisnya,” lanjutnya. Indah juga tidak melihat ada sinergi antara pusat dan daerah terkait moratorium ini. Padahal, bila inpres ini dilaksanakan dengan baik, menurutnya ini bisa menjadi satu langkah penyelesaian persoalan sawit di kawasan hutan, baik itu milik pengusaha (kebun sawit besar swasta/negara) maupun petani (kebun sawit rakyat).

Untuk mengembalikan kebun sawit dalam kawasan hutan melalui agroforestry, Inda mengusulkan perlunya dilakukan peninjauan terhadap perizinan dan penegakan hukum dengan pencabutan izin serta audit terhadap perusahaan perusahaan/korporasi yang menanami kawasan hutan. Sedangkan bagi rakyat yang melakukan hal tersebut, penyelesaian dapat dilakukan melalui pendekatan skema resolusi konflik serta TORA. Bagi kawasan hutan yang terancam ekspansi sawit, agroforestry dapat didorong melalui skema Perhutanan Sosial. Pengembangan komoditas lain selain sawit di dalam kawasan hutan, yang juga bernilai ekonomi tinggi seperti durian, jengkol, lada atau jelutong dan meranti juga perlu dilakukan.

Sementara itu, dalam kesempatan ini Direktur Tropenbos Indonesia Edi Purwanto memaparkan tentang opsi kebijakan agrokomoditas di kawasan hutan, apakah melalui segregasi, integrasi, atau inklusi. Agrokomoditas sudah masuk ke dalam kawasan hutan sejalan dengan perkembangan penduduk dan kebutuhan ekonomi, bahkan di berbagai tempat sudah masuk jauh sebelum penetapan kawasan hutan. Namun di sisi lain, agrokomoditas di kawasan hutan sering dianggap mengganggu fungsi hutan dalam perlindungan. “Banyak orang beranggapan, bila bukan berupa tutupan pohon, DAS tidak akan berfungsi dengan baik, padahal fungsi hutan yang baik tidak hanya ditentukan oleh tutupan hutan tetapi juga oleh kombinasi berbagai faktor lain seperti kondisi geomorfologi, geologi, tanah, topografi, iklim dan sebagainya,” jelasnya. Kebun campur masih memiliki peran perlindungan DAS yang sama efektifnya dengan hutan alam, sekaligus menjadi solusi konflik antara pengelola hutan dan masyarakat.

Edi memberi contoh di kawasan Hutan Lindung Bantaeng dan Bulukumba, dimana masyarakat di sekitarnya ikut menjaga hutan dengan baik sehingga frekuensi kebakaran hutan bisa berkurang. Lalu bagaimana implementasi konsep integrasi, segregasi dan mosaik ini dalam menjaga hutan yang tersisa? Menurut Edi, semerintah perlu menetapkan luasan hutan tetap yang tidak diganggu gugat. Saat ini masih ada sekitar 40-70 jt ha hutan primer yang belum tersentuh dan inilah yang seharusnya dijadikan fungsi lingkungan untuk melindungi pembangunan di berbagai sektor.

Selain perlunya pencadangan hutan tetap yang berfungsi sebagai perlindungan DAS, pusat keanekaragaman hayati dan pengendalian karhutbunla, Edi juga merekomendasikan beberapa hal seperti perlunya penyelesaian keterlanjuran sawit di kawasan hutan, perlunya perbaikan tata kelola untuk memperbaiki fungsi hutan baik di tingkat tapak maupun di tingkat lanskap, perlunya pelaksanaan UU No.34/2014 tentang Konservasi Tanah dan Air dan Peraturan Pemerintah No.46/2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup, perlunya keterlibatan instansi pemerintah dalam pendampingan intensif perkebunan skala besar maupun pekebun di kawasan hutan, serta penegakan hukum bagi kesengajaan okupasi di kawasan hutan dan penyelesaian masalah tenurial.

Sawit di dalam hutan, menurut Edi, adalah keterlanjuran yang sudah terjadi dan di situ ada keterlibatan masyarakat. Namun selalu ada solusi, jangka benah, teknologi yang dapat digunakan untuk mendampingi masyarakat sehingga produktivitas mereka bisa tetap tinggi seraya tetap memperhatikan lingkungan. Webinar kali ini diikuti oleh lebih dari 260 peserta baik melalui link zoom maupun youtube.

Materi presentasi bisa di download disini

Tonton rekaman webinar: