Serial Webinar “Mengelola Yang Tersisa” Seri #5 Tata Kelola dan Praktik Cerdas di Hutan Lindung

Serial Webinar “Mengelola Yang Tersisa” Seri #5 Tata Kelola dan Praktik Cerdas di Hutan Lindung

Indonesia - 22 September, 2020

Berdasarkan UU No.41/1999, Hutan Lindung (HL) memiliki fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. Bentuk penggunaannya terbatas pada pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan (fungsi hidrologis) dan pemanfaatan HHBK (PP 34/2002). Namun masalahnya, HL yang kini luasnya hampir mencapai 30 juta ha ini sekarang banyak yang berada dalam kondisi kritis dan menjadi open access. Kawasan berstatus HL yang sudah tak lagi berhutan nyatanya juga telah mencapai 20% atau bahkan lebih. Demikian paparan Direktur Tropenbos Indonesia Edi Purwanto dalam serial webinar Tropenbos Indonesia (TI) yang ke-5 pada Sabtu, 12 September 2020 yang diikuti oleh sekitar 170 peserta dan dimoderatori oleh Dr. Ir. Titiek Setyawati, M.Sc.

Untuk mengoptimalkan HL sebagai sistem penyangga kehidupan, Edi mengatakan, diperlukan adanya ketahanan tenurial dan kelembagaan masyarakat yang kuat dan ini akan tercermin dari integritas tutupan hutannya. Untuk melihat kondisi sejumlah HL di Indonesia, Edi mengajak para peserta webinar menelaah kondisi HL Sungai Lesan di Berau, Kalimantan Timur, HL Gunung Lumut di Paser, Kalimantan Timur, HL Gunung Tarak dan HL Gunung Juring di Ketapang, Kalimantan Barat, HL Gunung Tanggamus di Lampung, Sumatra, dan HL Kali Biru di Jogjakarta, Jawa Tengah.

Hutan Lindung Sungai Lesan yang luasnya sekitar 10.240 ha berada di Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Ada 4 desa yang berada di sekitar kawasan ini, yaitu Lesan Dayak, Muara Lesan, Merapun dan Sidobangen. Melalui fasilitasi sejumlah LSM, kawasan yang semula merupakan kawasan konsesi HPH ini kemudian berubah menjadi HL setelah ditemukannya banyak sarang orangutan, dan berkat fasilitasi Yayasan Operasi Wallacea Terpadu (OWT) kemudian menjadi kawasan ekowisata yang menjadi tujuan wisata belajar bagi rombongan pelajar asing. Ancaman terbesar bagi kawasan ini adalah ekspansi sawit yang mempengaruhi viabilitas orangutan dan menyebabkan populasinya terus merosot. Kawasan ini juga menjadi kawasan rehabilitasi DAS walaupun tutupan hutannya masih diatas 60% sehingga justru kemudian menjadi terbuka karena adanya pembuatan jalan setapak untuk membawa bibit. Meski keamanan tenurial di kawasan ini rendah karena belum adanya izin perhutanan sosial, dan adanya ancaman dari ekspansi sawit yang cukup tinggi, namun kelembagaan lokal yang kuat membuat optimalisasi fungsi HLSL masih bagus.

Hutan Lindung Gunung Lumut yang luasnya sekitar 42.000 ha dan dipenuhi aneka jenis lumut berada di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Dua masyarakat adat yang berada di dalam dan di sekitar kawasan ini adalah Muluy (asli Dayak Paser) dan Rantau Layung (campuran Dayak Paser dan pendatang). Sebelum tahun 2000, masyarakat menanam padi dengan sistem peladangan berpindah dengan rotasi yang teratur sehingga tidak menimbulkan masalah, tetapi setelah tahun 2000 masyarakat mulai mengenal sawit dan karet sehingga mulai terjadi deforestasi yang cukup intensif karena masyarakat mulai merambah ke dalam kawasan HL. Kebutuhan masyarakat pun bergeser dari hanya subsisten menjadi konsumtif. Selain keamanan tenurial yang rendah, kelembagaan lokal sebetulnya masih cukup baik, tetapi nilai kearifan lokal sudah tergerus oleh pengaruh dari luar sehingga optimalisasi fungsi HL kurang optimal.

Hutan Lindung Gunung Tarak yang luasnya sekitar 24.000 ha berada di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat dan merupakan kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Palung. Di kawasan ini terdapat dua dusun yaitu Cali, sebuah dusun lama yang sudah ada sejak sebelum penetapan sebagai kawasan HL dan Pangkalan Jihing yang masih relatif baru. Meski keamanan tenurial dan kelembagaan lokal di kawasan ini masih rendah, optimalisasi fungsi sedang karena jumlah penduduknya tidak banyak sehingga tekanan terhadap hutan tidak terlalu besar.

Hutan Lindung Gunung Juring luasnya sekitar 9.828 ha dengan 4 desa yang menganggap hutan ini sebagai kawasan adat mereka yaitu Desa Mekar Raya, Kemora, Batu Daya, dan Gema. Dari keempat desa tersebut Desa Gema telah memperoleh izin Hutan Desa seluas 2.400 ha yang juga dikelola sebagai ekowisata. Mayoritas penduduk di kawasan ini adalah suku Dayak, yang menjadikan hutan sebagai sumber mata pencaharian mereka, sebagai tempat berburu, berladang dan mendapatkan madu. Tanaman yang ada di kawasan ini sebagian besar adalah tembawang (karet dan buah/durian). Meski ancaman masuknya sawit cukup besar, masyarakat di sini tergolong anti sawit dan dengan Lembaga Adat yang kuat, masyarakat masih mengelola hutan sesuai dengan kearifan lokal. HL ini masih berfungsi baik dan menjadi sumber air bersih dan memiliki potensi wisata air terjun. Meski dari sisi keamanan tenurial masih kurang karena baru satu desa yang memperoleh izin Hutan Desa, kelembagaan lokal yang baik membuat optimalisasi fungsi kawasan ini juga masih baik.

Hutan Lindung Gunung Tanggamus di Lampung, Sumatra, telah memperoleh izin Perhutanan Sosial sebagai Hutan Kemasyarakatan (HKM) sejak tahun 2009. Namun, HL ini juga mengalami pengurangan tutupan hutan yang cukup besar dengan tingkat deforestasi yang juga tinggi. Walaupun tingkat keamanan tenurialnya tinggi karena telah memperoleh izin HKM dan memiliki kelembagaan lokal yang baik, kegiatan produksi yang terlalu aktif di kawasan ini telah menyebabkan optimalisasi fungsi hutannya ada yang terabaikan demi kepentingan produksi.

Hutan Lindung Kali Biru sebelumnya merupakan kawasan kritis tetapi kini telah berkembang menjadi kawasan ekowisata. HL ini merupakan contoh keberhasilan dimana keamanan tenurial, kelembagaan lokal dan optimalisasi fungsi HL semuanya berjalan dengan baik. Selain memiliki kelembagaan masyarakat yang baik, Kali Biru juga memiliki instrumen ekonomi yang mendukung pengembangan kawasan dan memiliki insentif pasar yang baik. Namun kondisi HL di kawasan lain belum tentu sebaik di Kali Biru. “Bila kelembagaan masyarakat tinggi tetapi instrumen ekonominya kurang, mungkin perhutanan sosial masih akan bisa berjalan dengan adanya insentif proyek, namun bila keduanya rendah, baik kelembagaan masyarakat maupun instrumen ekonomi, maka akan menjadi lahan terlantar, dan bila instrumen ekonominya tinggi tetapi kelembagaan masyarakatnya kurang maka yang akan terjadi adalah open access,” tutur Edi.

Membandingkan kondisi di Kalimantan, baik di Kalimantan Barat maupun di Kalimantan Timur dengan di Lampung, Sumatra, Edi menjelaskan, bahwa di Kalimantan tekanan penduduk terbilang rendah, daya dukung lahan (kesuburan) rendah, agroekosistem ekstensif dimana penanaman padi atau sawit dilakukan dengan input yang rendah, sehingga outputnya juga kurang dan akibatnya diperlukan lahan yang luas (boros lahan) sehingga terjadi transfer penguasaan lahan dan penurunan optimalisasi fungsi hutan lindung. Pengetahuan lokal ada, tetapi kearifan lokal yang sebetulnya tinggi saat ini tergerus oleh meningkatnya berbagai kebutuhan dan pengaruh arus informasi. Keamanan tenurial umumnya rendah dimana belum banyak kawasan yang mendapat izin Perhutanan Sosial, dan kelembagaan lokal bervariasi.

Sementara itu, di Lampung tekanan penduduk tinggi, daya dukung tinggi, agroekosistemnya intensif, kearifan lokalnya sedang dan cenderung menurun, namun keamanan tenurial tinggi dengan sudah aktifnya perhutanan sosial dan tingginya kelembagaan lokal.

“Keamanan tenurial dan kelembagaan lokal merupakan kondisi pemungkin optimalisasi fungsi HL, walau efektivitasnya ditentukan oleh daya dukung lahan, karateristik agroekosistem, kreativitas dan kearifan lokal masyarakatnya,” kata Edi. Untuk itu, ia melanjutkan, diperlukan pendampingan intensif dalam meningkatkan daya dukung melalui perbaikan input, penguasaan teknologi dan akses pasar, pemanfaatan sarana komunikasi, pengembangan agroforestry, harmonisasi dan sosialisasi tapal batas HL, pengelolaan oleh multi-pihak, keamanan tenurial melalui perhutanan sosial khususnya bagi wilayah yang sudah dikelola lama oleh masyarakat, pemberian insentif kelembagaan lokal yang pelestari HL, dan dukungan kebijakan untuk memayungi pengelolaan HL dan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE).

Edi menutup pemaparannya dengan pemutaran film praktik cerdas di Hutan Lindung Sungai Lesan yang kini telah berhasil menjadi kawasan ekowisata seraya tetap mempertahankan pengelolaan hutannya dengan baik. Link film: http://bit.ly/2RMQ3rd

Adapun pembicara lain dalam acara ini yaitu Ir. Idi Bantara, S.Hut.T, M.Sc, IPU, Kepala BPDASHL Way Seputih Way Sekampung, Lampung, memberikan paparan tentang tata kelola dan praktik cerdas di Hutan Lindung Tanggamus, Lampung, di mana produk minyak gaharu dari kawasan ini bahkan telah diekspor ke sejumlah negara termasuk Saudi Arabia. Namun demikian kawasan ini sangat kental mengalami konflik tenurial dan tindak pidana illegal logging. Diantara beragam upaya yang dilakukan untuk merangkul masyarakat menurut Idi adalah melalui peningkatan pendapatan masyarakat dan terus melakukan komunikasi agar masyarakat memiliki pemahaman, partisipatif dalam kegiatan, dan terus mengalami peningkatan kapasitas.

Selanjutnya Marius Marcelius, mantan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat dan advokat yang kini berkecimpung di dunia pengelolaan hutan sebagai konsultan individu untuk pengelolaan sumber daya alam memberikan pemaparan tentang kondisi hutan di Kalbar yang luasnya mencapai 8,4 juta ha atau 58% dari luas wilayah Kalbar. Namun dari luas tersebut, baru 3,3% saja yang telah dialokasikan untuk masyarakat melalui program Perhutanan Sosial, padahal saat ini ada 718 desa yang berada di dalam kawasan hutan. Selain itu, provinsi ini juga memiliki potensi lahan gambut yang luasnya mencapai 11,8% dari luas wilayah Kalbar (1,72 juta ha). Namun gambut yang luas ini sekaligus juga membuat Kalbar menjadi sangat rentan terhadap kebakaran lahan, yang menurut data KLHK, 2019 mencapai 127.462 ha atau kedua tertinggi di Indonesia.

Sementara itu, Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS, dosen di Fakultas Ekologi Manusia IPB yang juga penasehat senior Menteri LHK, memberikan pemaparan tentang pengelolaan hutan yang tersisa dari perspektif ekologi politik. Perubahan kelimpahan sumber daya alam dan mutu lingkungan terjadi sebagai akibat keputusan-keputusan politik, baik individu, rumah tangga, kelompok, komunitas, LSM, perusahaan, negara, maupun organisasi multi-lateral/global. Bahkan keputusan membuang sampah sembarangan pun merupakan contoh keputusan politik individu meski mungkin dia sudah memiliki pengetahuan untuk tidak melakukannya. Begitu pula aneka krisis ekologi di Indonesia, faktanya merupakan akibat dari berbagai hal termasuk orientasi dan motif ekonomi politik dalam mengakses sumber daya alam, masalah kelembagaan seperti kebijakan ekonomi yang eksploitatif, sektoral, atau ketidaksetaraan relasi kuasa antara aktor lokal, nasional, regional maupun internasional dalam mengakses sumber-sumber alam dan lingkungan hidup.

Sebagai pembicara terakhir, Untad Dharmawan, Wakil Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Kalbar mengatakan, HL di Kalbar luasnya mencapai 2,8 juta ha namun selama ini belum mendapat banyak perhatian, HL juga belum banyak memberikan manfaat kepada masyarakat dan masih menyimpan sejumlah permasalahan seperti batas HL yang belum jelas, masih adanya pemukiman, pasar, atau kebun sawit di dalam hutan lindung, pemanfaatan HL oleh masyarakat tanpa ada perizinan, dan sebagainya. Izin Perhutanan Sosial di Kalbar juga belum secara nyata bermanfaat, belum adanya database potensi HL untuk pengelolaan lebih lanjut, dan adanya keputusan-keputusan politik daerah yang tidak mendukung, meski potensi HL sebetulnya besar seperti wisata bakau, air terjun, penghasil madu, rotan, bambu dan sebagainya. Ini semua membutuhkan penguatan pendamping di tingkat tapak (KPH) yang juga masih menghadapi berbagai tantangan.

Materi presentasi bisa di download disini

Tonton rekaman webinar :

;

**