Serial Webinar “Mengelola Hutan yang Tersisa” Seri #4. Membangun ketahanan keanekaragaman hayati dari beranda rumah

Serial Webinar “Mengelola Hutan yang Tersisa” Seri #4. Membangun ketahanan keanekaragaman hayati dari beranda rumah

Indonesia - 03 September, 2020

Melestarikan keanekaragaman hayati bisa dimulai dari beranda rumah kita. Hijaunya pekarangan dengan aneka jenis pepohonan akan memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk belajar tentang lingkungan dan merasa dekat dengan alam. Dikelilingi oleh satwa liar yang hidup bebas di sekitar kita jauh lebih baik daripada memeliharanya di dalam sangkar, namun ada tidaknya satwa liar itu di sekitar kita akan sangat ditentukan oleh lingkungan yang cocok sebagai habitatnya. Dengan menanam berbagai jenis pohon di halaman tidak hanya akan mendukung upaya pelestarian keanekaragaman hayati tetapi juga mempertahankan cadangan karbon, mengurangi dampak perubahan iklim dan pemanasan global, menjaga udara tetap segar dan menyehatkan, serta memberikan efek menenangkan bagi penghuni rumah.

Perbincangan tentang hal tersebut berlangsung dalam webinar bertajuk “Membangun Ketahanan Keanekaragaman Hayati di Teras Kita” pada Sabtu, 29 Agustus 2020. Dihadiri oleh 143 peserta, webinar ini merupakan bagian keempat dari serial webinar yang diselenggarakan oleh Tropenbos Indonesia bertema “Mengelola Hutan yang Tersisa”. Berperan sebagai moderator adalah Direktur Tropenbos Indonesia, Edi Purwanto, dengan dua narasumber ahli yang merupakan staf pengajar senior IPB University: Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.Sc. Dalam kesempatan ini kedua pakar tersebut berbagi kajian dan pengalaman mereka tentang hubungan antara pentingnya pohon di sekeliling kita dengan keterjagaan keanekaragaman hayati.

Menurut Ani, dalam 10 tahun terakhir setidaknya ada 243 jenis burung yang ia temukan di kawasan Jabodetabek dan sekitarnya (termasuk Kepulauan Seribu). Burung-burung itu terdiri dari 8 jenis urban exploiters, 49 jenis atau urban adapters, dan 186 jenis urban avoiders. Termasuk di antara urban exploiters itu adalah Burung Madu Sriganti dan Cabai Jawa, yang ternyata memang ada meskipun seringkali luput dari pengamatan. Di sekitar tempat tinggalnya di kawasan Sentul, Ani juga memantau beberapa spesies burung yang sekarang menghilang tetapi ada juga spesies lain yang justru datang. “Sudah bagus kalau kita bisa mulai mendata spesies apa saja yang kita temukan di sekitar kita, tidak usah menghitung jumlahnya dulu,” ujarnya. Keanekaragaman hayati di sekitar kita memang perlu dijaga, didata, dilindungi, dilestarikan, ditambah, difungsikan, dinaturalisasi, untuk memperbaiki lingkungan dan menambah kualitas kehidupan.

Hadi Susilo Arifin, Kepala Divisi Manajemen Lanskap Departemen Arsitektur Lanskap Faperta IPB yang juga Bidang Tata Lanskap Jurusan Arsitektur Lansekap Fakultas Pertanian IPB sekaligus pendiri Komunitas Pekarangan dan Kebun Produktif Indonesia menjelaskan, pekarangan hijau sebagai keanekaragaman hayati perkotaan memiliki sejumlah fungsi yaitu self-propagating function, self-nourishing function, self-governing function, dan self-fulfilling function. Keanekaragaman hayati di pekarangan rumah ini bisa terdiri dari beragam tanaman buah, sayur, rempah-rempah, tanaman obat, bunga, tanaman penghasil tepung, atau ternak seperti ayam, kambing, dan ikan.

Beragam burung dan hewan lain seperti tupai atau musang membutuhkan pohon sebagai tempat mencari makan dan berteduh. Beringin (ficus), misalnya, adalah salah satu spesies tanaman kunci yang disenangi burung yang memakan buahnya yang kecil-kecil dan menjadi tempat bernaung bagi hewan lain seperti burung pelatuk dan tupai. Menanam beringin berarti memelihara habitat berbagai jenis burung, nokturnal, serangga, dan bahkan ular.

Dengan manfaat produktif seperti menyediakan berbagai jenis sayuran yang bisa digunakan untuk membuat salad sebagai sarapan pagi, atau sumber protein seperti ikan atau lele untuk makan siang, keanekaragaman hayati di rumah menjadi sangat penting. “Yang kita petik adalah apa yang kita makan,” kata Hadi yang pekarangan rumahnya dipenuhi oleh beragam jenis sayuran dan buah yang sekaligus merupakan tempat persembunyian keanekaragaman hayati. Menurut Hadi, bahkan salah satu pojok di sebuah rumah mungil pun bisa diisi dengan koleksi sejumlah tanaman yang akhirnya dapat mengundang satwa liar. Kaktus, anggrek, kangkung hidroponik, tanaman obat dan bunga yang ditanam dengan konsep life wall/hanging garden hanyalah sebagian dari alternatif yang dapat menjadi pilihan di dalam urban garden.

Contoh lain yang diberikan Hadi adalah sebuah kawasan bernama Tanjung Mas di Semarang yang berdampingan dengan sebuah komplek perumahan mewah. Meski kawasan itu berada di bekas perkampungan kumuh dan bekas rawa, dengan ukuran tiap rumah yang sangat kecil tanpa lahan untuk bercocok tanam serta menghadapi masalah pasang surut air laut, namun warganya tetap kreatif dan mereka mendekorasi rumahnya dengan tanaman dalam pot-pot yang diletakkan di atas tap seng rumah atau digantung di tembok. Baik itu green roof garden, green screen garden, atau green window garden, asalkan ada pelopor yang memberi contoh dan mau membangun dengan kreativitas, pasti orang lain akan mengikuti.

Di dalam kompleks perumahan di kawasan industri sekalipun, pelestarian keanekaragaman hayati tetap dimungkinkan dengan menanam beragam jenis pohon. Ani mencontohkan di sebuah pabrik semen yang warganya juga menanam berbagai jenis pohon di sekitar pabriknya, ia menemukan sedikitnya ada 40 jenis burung di kompleks tersebut. Di kawasan industri lain yang memproduksi mobil bahkan ditemukan sekitar 600 jenis burung setelah perusahaan menanam berbagai pohon di kompleksnya. “Intinya harus ada kawasan yang dialokasikan sebagai jalur hijau dan tidak semuanya digunakan untuk pabrik,” pesan Ani.

Bila kawasan industri pun bisa ditata untuk menyediakan tempat bagi suaka satwa liar, industri pun akan merasakan dampak positifnya sehingga mereka bahkan mungkin bisa meraih predikat proper emas, meski itu tidak mudah karena untuk memperoleh predikat tersebut setidaknya mereka harus sudah 2 kali memperoleh predikat proper hijau. Namun, industri memang memerlukan predikat seperti ini agar terdorong untuk mengalokasikan ruang terbuka hijau atau bahkan ruang terbuka biru. Terlebih di industri tambang, misalnya, yang tantangannya lebih besar lagi karena di kawasan ini biasanya juga terjadi pencemaran logam berat sehingga bioremediasi diperlukan sebelum lahan bekas tambangnya ditanami agar pohon yang tumbuh nantinya tidak berbahaya bagi mahluk hidup yang mendapatkan makanannya dari pohon tersebut.

Materi presentasi bisa di download disini

Tonton rekaman webinar:

;

**