Serial Webinar “Mengelola Yang Tersisa” Seri #3 Gerakan Nasionalisme Konservasi

Serial Webinar “Mengelola Yang Tersisa” Seri #3 Gerakan Nasionalisme Konservasi

Indonesia - 24 August, 2020

Didalam kisah pewayangan Jawa, sosok Kumbakarna dikenal sebagai panglima perang Alengka yang berjiwa patriot dan memiliki nasionalisme tinggi. Selain itu, ada pula Bisma (Dewabrata) yang juga pembela Hastina dari dampak kehancuran lingkungan akibat Perang Baratayuda. Keduanya adalah inspirasi yang bisa digali dari wayang yang telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai karya budaya mengagumkan warisan bangsa. Eratnya hubungan antara lingkungan dan budaya tergambar jelas di dalam “kayon” gunungan wayang. Pohon menjadi urat nadi kehidupan bagi semua mahluk yang bergantung padanya. Rusaknya pohon-pohon di hutan, menjadi sumber beragam bencana seperti kebakaran, sebagaimana bisa dilihat dibalik kayon (banaspati) yang menggambarkan api.

Direktur Tropenbos Indonesia, Edi Purwanto menceritakan hal tersebut didalam webinar bertema “Gerakan Nasionalisme Konservasi” pada Sabtu, 15 Agustus 2020 lalu. Gagasan tema tersebut berkaitan dengan peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-75 yang jatuh pada 17 Agustus 2020, sekaligus merupakan ajakan untuk menjaga dan mempertahankan bumi pertiwi dari ancaman kerusakan lingkungan dengan penuh tanggung jawab sebagai wujud rasa nasionalisme yang tinggi.

Sebelum dan paska perjuangan kemerdekaan, nasionalisme Indonesia telah menginspirasi dunia. Sayangnya, nasionalisme ini melemah di era pembangunan, salah satunya karena belum tuntasnya pembangunan karakter manusianya. Salah satu dampaknya adalah bencana lingkungan yang timbul sebagai akibat kerusakan sumber daya alam karena ulah manusia sendiri. Padahal, nasionalisme lingkungan sebetulnya adalah juga manifestasi cinta Tanah Air.

Budaya dan sumber daya alam adalah seperti keping bermata dua. Melalui budaya, manusia memahami lingkungan dan pengalamannya sebagai pedoman tingkah laku. “Kerusakan sumber daya alam akan berdampak pula terhadap budaya, seperti menghilangnya common interests, tradisi gotong royong, dan terjadinya pergeseran dari altruism ke egoism,” kata Edi. Tidak adanya ikatan budaya dalam suatu komunitas akhirnya akan menimbulkan tragedi dimana semua orang akan merasa tidak masalah untuk mengeksploitasi alam karena orang lain pun melakukannya.

Menurut Joko Widayatmo, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Indonesia, nasionalisme konservasi juga ditunjukkan oleh para pengusaha tambang melalui kegiatan reklamasi. “Setiap rencana penambangan harus disertai rencana reklamasi pasca tambang yang tujuannya adalah melestarikan kehati,” katanya. Ini sesuai dengan peraturan pemerintah yang tertuang didalam UU No.3/2020 tentang Minerba dimana setiap penambangan harus melakukan restorasi dan memikirkan alokasi kawasan penyangga agar usaha tambang tidak hanya dilihat sebagai pengeksploitasi sumber daya alam. UU tersebut merupakan perubahan atas UU Minerba No.4/2009 yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada 10 Juni 2020 lalu. Dasar hukum reklamasi pasca tambang ini juga terdapat di dalam UU No.41 tentang kehutanan dan Permenhut P60/2009.

Harmonisasi kawasan tambang dengan hutan perlu dilakukan agar generasi mendatang tetap dapat melihat keanekaragaman hayati yang ada seperti bekantan, trenggiling, anoa, dan sebagainya. Saat ini isu utama yang dihadapi usaha tambang adalah pelaksanaan reklamasi yang belum optimal dan pengelolan lubang bekas tambang yang banyak terbengkalai. Ini juga disebabkan karena sebelum UU No.3/2020, peraturan yang ada belum mengatur tentang rasio keseimbangan antara lahan yang dibuka dan direklamasi, serta luasan lubang bekas tambang (void) yang dimungkinkan sebagai zona akhir.

Menurut data Asosiasi Pertambangan Indonesia, hingga saat ini total tambang di Indonesia ada 42 dengan 76 kontrak kerja. Namun yang mendapat Izin Usaha Penambangan (IUP) cukup banyak, yaitu 6.335 yang clean and clear (C&C), sedangkan 3.286 lagi non C&C. Ini terkait dengan ketaatan mereka dalam membayar pajak, izin-izin yang diperlukan, Amdal, dan sebagainya. Sejumlah perusahaan yang berada di dalam pengawasan pemerintah pusat telah melaksanakan kegiatan reklamasinya dengan baik, tetapi perusahaan yang berada dibawah kewenangan pemerintah daerah masih kurang, maka kewenangan daerah untuk izin tambang kini dikembalikan ke pusat, meski pelaksanaannya masih ada di daerah.

Meski tak menampik adanya perusahaan tambang yang melakukan pelanggaran, Joko mengatakan sebagian perusahaan tambang telah memiliki empati terhadap lingkungan, masyarakat, dan menunjukkan keberhasilan dalam melakukan reklamasi. Hutan yang dulu rusak kini telah kembali meski tak lagi pulih seperti semula. Sebagian lain tak bisa ditanami selain dengan jenis tanaman tertentu karena tanahnya asam, sebagian lagi berhasil ditanami meski dengan jenis tanaman yang didatangkan dari luar, tetapi dengan campur tangan manusia, reklamasi itu berhasil dilakukan. Potensi pemanfaatan lahan bekas tambang adalah mereklamasinya menjadi hutan tanaman atau hutan atsiri, menjadi tempat penangkaran rusa, habitat pemeliharaan ayam hutan, atau kebun konservasi anggrek, kebun nanas, ataupun peternakan sapi dan silvopastura. Lubang bawah tanah di Umbilin, misalnya, kini telah menjadi museum tambang dan pusat pelatihan tenaga tambang bawah tanah di Indonesia serta mendapat pengakuan dari UNESCO sebagai tempat menyimpan sejarah tambang di Indonesia.

Sementara itu dari sektor perkebunan, menurut Fakri Karim, Direktur Sustainability ANJ Group, di bidang pertanian dan rantai nilai, hutan dilihat sebagai bagian dari modal alam, sama seperti human capital, atau machinery. “Jadi harus dihitung bagaimana supaya lestari karena ini berkontribusi terhadap setiap tahap dari rantai nilai. Menyeimbangkan people, planet dan prosperity, itu syarat,”katanya. ANJ Group memiliki kebijakan untuk menyeimbangkan ketiga hal ini, dan dari total area yang dikelola di berbagai pulau saat ini, ANJ telah mengalokasikan sebesar 29% diantaranya untuk konservasi dengan alokasi dana rata-rata sekitar US$ 11.11 – 220 per ha.

Fakri mengakui keberadaan hutan di luar HGU penting bagi perusahaan terlebih dalam kaitannya dengan kebakaran hutan karena bisa merembet ke dalam HGU. Namun menurutnya, kebakaran banyak terjadi di hutan-hutan yang tidak ada pengelolanya. Untuk itu, hutan harus dikelola. Dengan anggaran nasional untuk mengelola hutan yang sangat minim yaitu US$ 5 per ha, kerja sama pemerintah dengan kalangan bisnis, masyarakat dan NGO menjadi sangat penting. “Perlu ada kerja sama untuk mengelola sumber dana dari dana publik, investasi swasta, maupun dana hibah/dari donor,” katanya. Fakri mencontohkan, konservasi yang didorong bersama oleh berbagai pihak melalui multi-stakeholder partnership ini telah dilakukan di dalam upaya penerapan pengelolaan lanskap terintegrasi melalui KEE yang telah dipraktikkan di Ketapang, Kalimantan Barat, di mana ANJ dan Tropenbos Indonesia juga ikut terlibat.

Menyusutnya hutan dan terjadinya perubahan iklim menyebabkan penanda alam (pranoto mongso) yang menunjukkan perubahan musim mungkin sudah sulit ditemui. Nasionalisme konservasi pun masih menjadi PR bersama, bagaimana melestarikan budaya lokal agar tetap bisa dipahami dan tetap menarik bagi generasi mendatang. “Kalau negara barat yang kapitalistik bisa mengagumi budaya kita, mengapa kita justru tidak,” kata Edi. Ia berharap agar promosi budaya tetap bisa dilakukan, agar stasiun TV tidak hanya menyiarkan acara berdasarkan rating, tetapi juga menayangkan acara yang bisa memberikan pemahaman budaya kepada masyarakat agar budaya nasional yang mengajarkan nilai-nilai kearifan lokal tidak hilang tergerus oleh tantangan zaman.

Webinar kali ini merupakan seri ketiga dari rangkaian serial webinar “Mengelola yang Tersisa”. Setelah webinar ini, serial webinar selanjutnya akan mengusung tema:
- Konservasi Berbasis Bentang Alam
- Wisata Konservasi
- Membangun Insentif Konservasi

Materi presentasi bisa di download disini

Tonton rekaman webinar:

;