Serial Webinar “Mengelola yang Tersisa” Seri #1 Konservasi di luar kawasan konservasi

Serial Webinar “Mengelola yang Tersisa” Seri #1 Konservasi di luar kawasan konservasi

Indonesia - 09 August, 2020

Peran hutan menjadi kian penting di tengah iklim yang berubah terlebih di tengah ancaman aneka bencana yang bila dirunut ternyata ditengarai juga merupakan dampak kerusakan hutan. Banjir, kebakaran hutan dan lahan, bahkan zoonotic disease hanya sebagian contoh dari dampak deforestasi. Mempertahankan hutan yang tersisa, karenanya, kini bukan lagi suatu ‘pilihan’, melainkan ‘keharusan’. Demikian disampaikan oleh Direktur Tropenbos Indonesia Edi Purwanto, dalam acara webinar yang diselenggarakan Tropenbos Indonesia pada Sabtu, 1 Agustus 2020 lalu bertema “Konservasi di luar kawasan konservasi”. Webinar ini juga menghadirkan Titiek Setyawati, Peneliti dari Badang Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai narasumber.

Menurut data dari Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (Dit. IPSDH), Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB/Peta Indikatif Moratorium) mencapai luasan 66 juta ha. Dari angka tersebut ada kenaikan sebesar 200.000 ha sepanjang 2019-2020. Ini berarti tutupan hutan primer dan gambut cukup stabil. “Walau luasnya kecil, bila berfungsi baik akan lebih baik daripada luasan besar tetapi tidak berfungsi baik. Jangan hanya sekedar bicara luasan, melainkan juga fungsi dan nilainya,” kata Titiek.

Melalui UU No.41/1999 tentang kehutanan, Indonesia telah membagi kawasan hutan seluas 120,3 juta ha untuk beragam peruntukan. Ada alokasi untuk kawasan hutan produksi, hutan konservasi, hutan lindung, maupun hutan konversi untuk peruntukan lain. Diantara luasan tersebut, sekitar 30 juta ha dikelola dibawah wewenang pemerintah daerah. Melalui UU No.23/2014, daerah memiliki wewenang untuk mengelola kawasan ekosistem penting dan daerah penyangga diluar Kawasan Suaka Alam/KSA dan Kawasan Pelestarian Alam/KPA. Inilah yang dikenal sebagai KEE (Kawasan Ekosistem Esensial) yang kini peraturannya masih dalam penyempurnaan.

Menurut Edi, meski telah menjadi wacana dalam 5-10 tahun terakhir, sampai sekarang KEE belum memiliki payung hukum di Indonesia. Namun, telah banyak wilayah-wilayah yang menginisiasai KEE karena kesadaran untuk melestarikan hutan yang tersisa. Edi mencontohkan upaya perlindungan bentang alam Wehea Kelay di Berau, Kalimantan Timur, yang merupakan inisiasi berbagai pihak. Meski berdekatan dengan Hutan Lindung Sungai Lesan, sayangnya bentang alam ini tidak saling terhubung karena terpisah oleh jalan raya. “Untuk itu, perlu dibuat ABKT pada tingkat lanskap yang dapat memetakan koridor-koridor konektivitas bagi keberlanjutan kehidupan satwa liar,” katanya.

Dengan beragam fungsi dan peruntukan, menurut data KLHK (2017) sekitar 60 juta penduduk Indonesia bergantung pada sumberdaya hutan. Selain sebagai penyedia air, kayu, protein hewani, bahan baku obat, cadangan karbon dan penyerap CO2, hutan juga menjadi sumber mata pencaharian bagi masyarakat dan penyeimbang ekosistem. Melestarikan hutan, berarti pula mempertahankan keseimbangan peran dan fungsi hutan sebagai pilar ekonomi, ekologi dan sosial/budaya.

Terlebih di tengah situasi dimana menurut data World Bank (2005), sekitar 80% satwa liar bernilai penting yang terancam punah berasal dari kawasan non konservasi. Demikian pula data analisis kesenjangan oleh KLHK (2010) menyebutkan, sekitar 105 juta ha ekosistem penting dan ekosistem penyangga terrestrial berada di luar kawasan lindung. Tak pelak lagi konservasi di luar kawasan konservasi sangatlah penting.

Lalu kawasan mana di luar kawasan konservasi yang masih memiliki nilai konservasi, nilai jasa lingkungan, dan nilai sosial/budaya sehingga pantas dilindungi? Penilaian inilah yang bisa dilakukan dengan menggunakan tool ABKT (Areal Bernilai Konservasi Tinggi/HCV) yang memiliki 4 kriteria dan 13 indikator.

Sayangnya, selama ini penerapan ABKT masih bersifat parsial, tidak saling terkoneksi di tingkat tapak. Untuk itu diperlukan strategi di tingkat lanskap agar kawasan NKT yang selama ini terpisah dapat saling terhubung dan memiliki konektivitas tinggi. Selain itu, daerah penyangga di sekitar mosaic sisa hutan perlu dikelola untuk memperbesar peluang konektivitas. Ekosistem unik/langka/terdegradasi direstorasi terutama di kawasan lahan basah seperti hutan bakau yang merupakan sumber kekayaan keanekaragaman hayati. Melalui kajian NKT kawasan yang memiliki manfaat kehati, jasa lingkungan, dan sosial budaya ini dapat diidentifikasi, dikelola, dan diselamatkan.

Titiek menyatakan optimismenya, hutan di Indonesia dapat dikonservasi, dikelola dan dipertahankan. Menurutnya banyak HPH dan Hutan Rakyat yang masih bagus kondisinya. Strategi pengelolaan pada areal yang sudah ditentukan sebagai HCV merupakan langkah awal. Kalaupun nilai-nilai dalam panduan HCV tersebut tidak ditemukan, seperti misalnya tidak ada satwa liar yang perlu dilindungi, masih bisa digunakan kriteria HCS dari sisi penyerapan karbon. “Modal kita adalah hutan tropis dengan iklim yang memiliki resiliensi tinggi. Hutan kita recoverynya cepat sekali. Jangan khawatir bahwa hutan kita akan hilang. Upaya konservasi bisa kita lakukan demi masa depan anak cucu. Yang penting jangan mengubah hutan menjadi pemukiman yang tidak bisa dikembalikan,” katanya.

Dihadiri 170 peserta, webinar kali ini merupakan seri pertama dari serial webinar “Mengelola yang Tersisa” yang diselenggarakan Tropenbos Indonesia. Setelah webinar ini, serial webinar selanjutnya akan mengusung tema-tema sebagai berikut:
- Konservasi Berbasis Desa
- Membangun Nasionalisme Konservasi
- Konservasi Berbasis Bentang Alam
- Wisata Konservasi
- Membangun Insentif Konservasi

Materi Presentasi bisa di download disini

Tonton rekaman webinar:

;


**